SINYO SIPIT

Sebuah novel perjuangan yang ditulis oleh Basuki Soejatmiko pada tahun 1985.

Bisa dibaca/download di:
Issuu: http://bit.ly/2lYBH9Z
Scribd: http://bit.ly/2AfKtmq 
Mediafire: http://bit.ly/2zn1jT6

Pernah dimuat secara bersambung di harian Jawa Pos tanggal 29 Desember 1985 hingga18 Maret 1986. Pembuatan ebook ini adalah dalam rangka dokumentasi karya Basuki Soejatmiko.

Link:
Issu 
Scribd 
Medifire

Kisah-kisah lanjutan dari Hongkong (2): Jenazah Itu Diminta Menunggu Tahun 1997


JAWA POS SABTU PON 27 DESEMBER 1986

Kisah-kisah lanjutan dari Hongkong (2)
Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos

Jenazah Itu Diminta Menunggu Tahun 1997

Fungshui kuburan yang jelek.

Orang Cina percaya pada banyak hal. Juga pada soal kematian. Menurut mereka, orang mati tidak sekedar mati begitu saja. Mereka masih  mempunyai pengaruh terhadap sukses tidaknya anak cucunya di kemudian hari.

Dari sinilah sebenarnya lahir fungshui, yakni ilmu tentang kuburan. Semula arti harafiahnya memang demikian, bersandar pada gunung memandang ke depan. Artinya secara luas, dengan bersandar santai pada sebuah gunung menatap ke muka, maka nenek moyang itu dengan gampang bisa mengayomi anak cucu mereka. Karena itu, bentuk kuburan orang Cina memang lucu. Membentuk gunung-gunungan yang aneh. Tebal dan tinggi di bagian belakang kemudian menurun di bagian muka. Makin kaya seseorang, makin luas gunung-gunungan tadi. Ini, maksudnya disesuaikan dengan falsafah fungshui tadi.

Tetapi sekarang, orang sulit sekali memperoleh tanah untuk kuburan. Padahal, kuburan untuk orang Cina tampaknya abadi. Artinya, tidak sekian waktu bisa dipakai untuk mengubur jenazah yang baru. Kuburan itu dipelihara terus secara turun-temurun.

Ada kepercayaan memang bahwa mereka akan” kualat” kalau tidak memelihara kuburan nenek moyang. Sedikitnya, mereka akan membersihkan kuburan itu setahun sekali. Ada hari khusus yang berlaku untuk menghormati orang mati di kalangan orang Cina, yakni hari raya Cingbing. Hari raya yang lain boleh saja berubah. Misalnya, Sincia, tanggalnya bisa terus berubah. Tahun ini jatuh tanggal 18 Februari. Tahun depan bisa saja 10 Februari, tergantung situasi perputaran matahari.

Tetapi untuk hari di mana orang Cina menghormati orang yang sudah meninggal dunia, tanggalnya selalu  tetap, yakni  tanggal 5 April. Maksudnya, supaya orang selalu ingat dan menunjukkan bahwa saat itu adalah  saat yang penting bagi orang Cina, sebab rangkaian seremoni menghormati nenek moyang merupakan adat yang sakral.

Di Hongkong sekarang ini, tentu tak gampang menjumpai makam umum. Yang ada cuma pekuburan umum, yang biasanya milik yayasan sosial. Tanah di sana yang sempit itu, tentunya lebih disenangi untuk sesuatu yang lebih ekonomis. Misalnya, untuk pembangunan gedung-gedung. Karenanya, sekarang ada gerakan membakar jenazah. Ini memang ekonomis. Demikian juga dengan jenazah-jenazah yang sudah dikebumikan lama,  dibongkar kembali. Kemudian dibakar dan abunya dititipkan di tempat perabuan itu.  Abu disimpan terus di tempat perabuan meskipun untuk itu mereka harus mengeluarkan sejumlah uang guna biaya pemeliharaan.

Ada tujuan tertentu dengantidak membuang abu jenazah ini. Mereka mengharap, jika nanti Hongkong sudah menjadi bagian RRC, maka mereka bisa membawa abu jenazah itu dengan penuh upacara ke RRC dan memakamkannya dekat makam Dr. Sun Yat Sen, pendiri Republik Cina di Nanjing.

Mereka sangat percaya bahwa makam Sun Yat Sen  mempunyai fungshui yang sangat baik. Sebab, dalam hal ini mereka percaya betul bahwa pemilihan Sun Yat sen untuk kota Nanjing sebagai kuburnya, tentunya sudah mempunyai pertimbangan yang masak dan tidak gegabah. Tidak asal meminta dikubur di Nanjing saja.

Dengan dikuburnya abu jenazah dekat makam SunYat Sen, mereka mengharapkan bahwa satu saat nanti, mereka akan mempunyai keturunan yang bisa jadi orang besar seperti Dr. Sun Yat Sen yang begitu besar jumlahnya. Tentu, kalau bisa jangan hanya abunya yang dikubur di sana, tapi jenasah aslinya. Dengan masuknya Hongkong menjadi bagian RRC, kini mulai ada yang tak mau membakar jenazah menunggu tahun 1997, saat Hongkong masuk RRC. Karena itu, kini mulai ada bisnis penitipan jenasah. Artinya, bukan lagi abu jenazah yang dititipkan melainkan peti yang berisi jenazah.

Bisnis ini yang sepintas merupakan bisnis kecil-kecilan, sebenarnya merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Mari kita rinci!

Untuk menyimpan peti mati yang berisi jenazah, sudah barang tentu peti mati itu harus prima sekali. Pembuatannya tidak boleh ada sambungannya, sehingga dengan demikian tidak semua orang bisa menitipkan peti jenazah. Apalagi, tempat penitipan ini masih sangat dirahasiakan. Hanya orang kaya yang mampu, dan yang tahu.

Kemudian, karena tempat penitipan itu tidak terlampau luas, maka peti disusun bertingkat. Artinya, kalau anda datang ingin sembayang maka yayasan yang mengelola penitipan itu harus menurunkan peti jenasah itu. Ini berarti uang juga. Kemudian menata di ruang depan dengan segala peralatan, sehingga layak keluarga bersembayang, juga merupakan situasi yang mengharuskan Anda membayar. Kemudian kalau acara tersebut sudah selesai, harus dinaikkan lagi. Ini pun harus mambayar. Sungguh, satu bisnis yang luar biasa.

Mereka menunggu sampai tahun 1997. Orang kaya di sana, tidak mau jika cuma abu mereka yang dikuburkan di RRC, tanah leluhur mereka. Mereka menghendaki jenazah mereka secara utuh setelah dibalsam dan diramu dengan ramuan yang bisa membuat jenazah itu tetap utuh sampai dua puluh tahun, nantinya bisa dikubur di sana.

Bagi kebanyakan bangsa lain, filsafat yang dipunyai Cina Hongkong ini, mungkin saja bisa menimbulkan tertawa dalam hati. Tapi, seperti yang sudah diuraikan dalam seri yang terdahulu, fungshui Hongkong yang artinya Sembilan Naga itu, sesungguhnya jelek. Juga fungshui kuburan mereka yang sekarang ini sangat jelek.  Tidak terletak pada tanah yang datar (perhatikan gambar – red), tetapi pada suatu dataran yang tengahnya digali, sehingga merupakan lembah. Artinya, kuburan itu lebih rendah dari jalan. Bagaimana nenek moyang yang dikuburkan di sana bisa memandang ke depan dan mengayomi anak cucunya, kalau letaknya lembah? Kesadaran akan halnya fungshui, membuat orang Hongkong yang makin lama makin mapan, juga mulai berpikir tentang hari esok, tentang kematian mereka. Semua orang bakal mati. Tapi, orang Cina masih berpikir terus, bagaimana harta benda yang mereka cari dengan susah payah hari ini, bisa berkembang terus di tangan anak cucu mereka.

Di Indonesia, masalah mengubur orang mati juga menjadi masalah. Setelah kota-kota besar agak tertutup, mereka mulai beralih ke kota pinggiran, di mana filosofi fungshui benar-benar bisa diterapkan, yakni bersandar ke gunung memandang ke depan.

Di Hongkong, orang tak mudah beralih ke luar kota, sebab di semua bagian, tanah sudah mahal dan tidak semua tanah boleh dijadikan tanah pekuburan. Karena itu orang Hongkong sekarang beralih ke pembakaran jenazah atau penyimpanan jenazah.

Soal penyimpanan jenazah ini, sampai sekarang memang masih dirahasiakan. Meskipun kata orang, di Taiwan masalah tersebut sudah umum. Cuma untuk pemerintahan kolonial Inggris, mungkin saja demi alasan  kesehatan, masalah tersebut masih belum ada ijinnya. Karenanya, kalau kita tanya pada masyarakat Hongkong, di mana tempat penitipan jenazah  orang mati dalam peti jenazah, mereka semua bingung dan tidak mengetahui. Menurut keterangan yang saya dapat, ada banyak tempat yang melakukan bisnis semacam itu. Saya berhasil mengunjungi yang ada di Wanchai.

Ternyata, orang Cina memang banyak akalnya. Bukan saja mereka giat mencari nafkah di dunia ini, tetapi mereka juga masih menjagakan nasib baik dari pengayoman nenek moyang mereka, nun jauh di sana…!

Kisah-kisah lanjutan dari Hongkong (1): Twako


JAWA POS JUMAT PAHING 26 DESEMBER 1986

Kisah-kisah lanjutan dari Hongkong (1)
Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos

Twako

Di Hongkong, Twako melindunginya.
Masih ingat laporan saya tentang Tong dan Taipan yang lalu? Ini satu lagi yang membuat ekonomi masyarakat Hongkong makin lama makin kuat meskipun situasi perekonomian dunia pada umumnya murung akibat resesi yang berkepanjangan. Orang Hongkong ternyata menyiapkan diri menghadapi kelesuan ekonomi dunia dengan sistem yang mereka sebut twako, yang arti sebenarnya adalah “kakak”.

Sudah barang tentu, pengertian twako sebagai kakak disini berbeda dengan pengertian sehari-hari. Bukan kakak dalam arti keluarga melainkan seorang yang dianggap lebih tua, karenanya juga punya pengalaman lebih, dan bijaksana. Yang terakhir ini sangat penting. Karena seorang twako harus bisa bertindak adil.

Mungkin saja gambaran yang bisa diberikan untuk menyelami arti kedudukan twako yang sekarang ada di Hongkong ialah sama dengan kedudukan Lotia pada kelompok keturunan Cina di Indonesia sebelum perang kemerdekaan. Sebagaimana Taipan, twako adalah gelar nonformal yang bukan diangkat resmi oleh pemerintah kolonial. Twako diangkat resmi oleh kelompok dagang yang memang sangat membutuhkannya.

Dulu, seorang yang disebut twako bisa mencakup berbagai jenis kegiatan perdagangan komoditi. Sekarang dengan kemajuan jaman, seorang twako cuma menguasai satu bidang komoditi saja. Artinya jika ia bergerak di bidang tekstil ya kuasanya di bidang tekstil itu saja. Kalau di bidang penjualan berlian, ya berlian saja. Karena itu kedudukannya makin kuat dan sangat menentukan.

Seorang twako bisa saja berusaha menolak seseorang yang punya modal besar untuk menanamkan modalnya di Hongkong kalau menurut pendapatnya penanaman modal itu bisa mencelakakan perusahaan-perusahaan yang sudah ada di sana. Sistem “proteksi” semacam ini di banyak negara dipegang oleh pemerintah. Kadin sebenarnya bisa menjadi twako di Indonesia, sehingga dengan demikian bisa dipantau sejauh mana sebuah usaha itu sudah jenuh atau masih bisa terus dikembangkan.

Tugas dan tanggung jawab seorang twako yang sedemikan besarnya, mengharuskan seorang twako di jaman modern seperti sekarang juga harus seorang terpelajar. Sedikitnya ia harus mampu berkawan dengan seorang taipan sedemikian rupa sehingga kalau perlu taipan mau memberikan kredit kepada para anggotanya untuk memperbesar usahanya agar lebih kuat dalam melawan modal baru dari luar.

Informasi, dengan demikian harus diperoleh seorang twako dengan cermat sekali sehingga dia bisa mengadakan evaluasi dalam waktu yang relatif pendek. Sebab, bidang perekonomian Hongkong, sekarang ini tidak bisa diurus di Hongkong saja. Ekspor sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga ada juga pemikiran baru, apakah pabrik baru lebih menguntungkan didirikan di negara tertentu daripada mengespor langsung yang memakan biaya transportasi yang mahal. Jika diterapkan harus didirikan sebuah pabrik baru di negara lain, sang twako ini yang “mengurusnya”. Jangkauannya dengan demikian makin luas. Karenanya sistem hubungan yang baru harus diciptakan.

Satu babak baru terjadi pada 1980. Sejak itu para twako setahun sekali mengundang para agen mereka yang berada di luar negeri yang selama itu telah menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Katakan saja ini semacam bonus buat para agen. Tapi, lama-kelamaan cara-cara setahun sekali ini tidak bisa dipertahankan. Sebab sumber informasi yang diperlukan makin terasa dan informasi ini harus akurat dan cepat. Artinya harus sesuai dengan situasi berbagai negara tempat barang-barang Hongkong itu diperdagangkan.

Maka, ditetapkanlah sebuah pertemuan arisan baru. Pertemuan tetap ini dinamakan “Arisan 100 hari”. Biar ada  peristiwa bagaimanapun para anggota berada di luar negeri harus datang ke Hongkong. Membawa informasi yang terbaru inilah dijadikan patokan, apakah penanaman modal di negeri itu akan diteruskan atau tidak. Akan lebih diperbanyak atau tidak.

Indonesia termasuk “link” arisan yang diadakan 100 hari itu, yang tempatnya biasanya disediakan oleh taipan-taipan Hongkong. Mereka bukan cuma bertindak sebagi sponsor, tetapi juga menunjukan kemewahan hidup sebagai tokoh-tokoh bisnis muda di sana.

Dari segi inilah, kita yang di Indonesia selalu ketinggalan. Kita selalu beranggapan bahwa mereka itu lihai sekali dalam dunia perdagangan. Padahal kenyataan yang sebenarnya ialah, mereka yang ada di Indonesia, yang sudah menjadi mata rantai satu sitem perdagangan luar negeri yang ketat, hanya menurut saja apa yang diinstruksikan oleh luar negeri. Dalam hal ini yang paling menentukan adalah sistem twako itu, sistem kakak.

Menurut sumber di Hongkong, arisan yang 100 hari bisa dikatakan pertemuan evaluasi. Wakil dari Indonesia misalnya, di dalam soal tekstil, selalu meminta agar patokan harga jualnya diturunkan dan kualitasnya ditinggikan. Sayangnya, pasaran tekstil di Indonesia dianggap oleh Hongkong belum sampai pada taraf yang tinggi. Mereka memasukkan tekstil ke Indonesia dengan kualitas yang menengah. Yang berkualitas tinggi mereka jadikan pakaian jadi. Sebab ini yang lebih menguntungkan.

Bagi mereka yang bisa mengikuti atau terlibat langsung dalam arisan 100 hari itu sungguh menguntungkan. Karena dalam arisan itu segala persoalan ekonomi Hongkong dibicarakan secara terbuka sebagai ilustrasi. Kemudian masuk laporan dari berbagai negara.

Karena jaringan perdagangan Hongkong luas, maka sedikitnya ada wakil dari sepuluh negara yang hadir. Selain negara-negara ASEAN, hadir pula orang kulit putih dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan lain-lainnya.

Hongkong memang pintar. Cuma di kawasan ASEAN saja mereka menunjuk perwakilan dagang mereka sesama bekas hoakiau atau Cina perantauan. Untuk negara-negara yang sudah maju, seperti negara-negara yang tersebutkan di atas, mereka memakai tenaga kulit kutih, dan buka orang kulit kuning yang menetap di negara itu. Bahkan wakil dari Jepang hadir dalam pertemuan itu.

Dengan demikian, keadaan ekonomi di berbagai negara dipantau setiap 100 hari dalam satu ruang di Hongkong secara cermat. Mereka cuma mau modal Hongkong selamat di luar negeri. Mereka tak ingin rugi. Konon, di Indonesia banyak juga modal Hongkong yang masuk dalam bentuk pendirian plaza-plaza dan kebanyakan yang ada hubungannya dengan tekstil atau pakaian jadi. Dalam hal yang terakhir ini memang Hongkong nomor satu. Tapi, jangan mencoba menjahitkan gaun di sana. Harganya berlipat ganda dengan harga kainnya. Sebab pakaian jadi menjadi murah di sana karena mereka mengerjakannya secara otomatis. Dengan gaji pegawai yang tidak mahal. Mereka yang bekerja di pabrik pakaian jadi, biasanya yang ingin kerja malam. Sebab di Hongkong orang harus bekerja keras untuk mencapai taraf hidup minimum 2000 dolar Hongkong sebulan. Jumlah itu baru sampai pada taraf pas saja untuk hidup. 

Hongsuinipun (Ebook)

Hongsuinipun
Oleh: Basuki Soejatmiko
Penerbit: Jawa Pos
Surabaya 1988.

Bisa dibaca atau download di:
1. https://issuu.com/nuragustinus/docs/hongsuinipun_-_basuki_soejatmiko
2. https://www.scribd.com/document/359054624/Hongsuinipun-Basuki-Soejatmiko


Kiriman dari Hongkong (7): Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa


JAWA POS, JUMAT PAHING 21 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (7 habis)

Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa.

Sampai serial pertama tulisan ini berakhir hari ini, masih belum ada kiriman baru lagi Basuki Soejatmiko yang hari ini masih didaratan RRC, memang sudah mengira akan mengalami kesulitan pengiriman laporan dari Beijing. Sambil supaya ada penyegaran laporan dari RRC akan diturunkan di lain kesempatan akan datang.

Rikshaw, jenis angkutan yang mulai langka di Hongkong

Seri terdahulu memperlihatkan bagaimana kehidupan orang Hongkong dihantui dengan kepercayaan tentang fungsui.Tetapi, ternyata rata-rata dari mereka mempercayai bahwa fungsui Hongkong sendiri jelek.

Tak perlu seorang ahli fungsui untuk mengetahui hal ini. Hongkong itu sepeti Tretes. Cuma di Tretes tak ada lautan yang membelahnya. Sedang, di Hongkong terletak di lembah. Kalau fungsui mau dipakai secara konsekuen. Mestinya untuk keperluan perumahan bukit-bukit itu yang dijadikan tempat tinggal. Bukan lembahnya seperti sekarang.

Sistem fungsui dengan demikian jadi terpenuhi. Yakni ibarat duduk bersandar gunung memandang lembah. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Dari lembah memandang bukit. Tentu saja tidak klop.

Untuk mengatasinya, orang lantas berlomba membuat gedung pencakar langit di sana. Sebenarnya, secara fungsui ini, juga salah. Tak mungkin orang menyaingi bukit lantas memberikan patkwa di atas gedung bertingkat paling atas. Patkwa adalah satu beda yang biasa dipakai untuk semacam tolak balak. Mestinya laut itu ditimbun tanah bukit seperti di Pantai Ria Kenjeran.
Jika Hongkang mau melebarkan kotanya dengan fungsui yang baik, arah kota yang penuh air itu yang mestinya diubah jadi daratan dengan mengepras bukit. Dengan demikian fungsuinya menjadi bagus. Masalahnya, kalau kemudian ada angin topan, bisa-bisa korban yang berjatuhan lebih banyak.

Sekarang saja hembusan angin memang terasa sangat keras. Apalagi kalau bukit dikepras. Tapi itu satu-satunya jalan untuk membuat fungsui Hongkong menjadi bagus.

Rumah-rumah flat di Hongkong semuannya didirikan atas tanah yang semula berfungsi agak lebih baik dari perumahan tempo doeloe. Cuma, orang Hongkong tak mungkin lagi melihat fungsui secara perorangan. Mereka melihatnya sebagai satu kesatuan. Makin tinggi rumah di perumahan flat mereka lebih suka. Sebab semakin tinggi flat itu, makin mencoba mengatasi ketinggian bukit.

Tapi, sejauh ini, secara perorangan masih dirasakan bahwa orang Hongkong membawa kepercayaan yang penuh terhadap Fungsui. Meski di rumah di flat, tapi mereka tak mau ada pintu masuk dari depan. Ini yang aneh.

Pintu masuk tetap harus di tengah rumah dari arah samping. Bisa langsung berhadapan dengan pintu kamar mandi. Tak ada pintu yang menembus ke belakang. Sebab, menurut kepercayaan fungsui, pintu yang menembus ke belakang bisa membuat orang bangkrut. Yang dari samping yang bagus.

Pada pintu masuk inilah orang Hongkong meletakkan gambar orang suci atau patkwa untuk mengusir kejahatan. Masih kuat kepercayaan mengusir setan itu. Gambarnya besar dan diletakkan di pintu masuk. Selebihnya sama dengan rumah-rumah yang lain. Kamar yang jentrek tiga yang kebanyakan ada di flat seperti milik keluarga Wong menjadi tidak ada masalah. Sebab, pintunya dari samping. Dengan demikian, kamar yang jentrek tiga itu lantas seperti terletak di bagian belakang. Tidak lagi diistilahkan jentrek tiga.

Sulit memang untuk mengetahui apa agama masyarakat Hogkong. Di rumah mereka banyak sekali patung antik Kwan Kong dan Kwan Im. Tapi, ada juga patung Budha yang indah indah. Ada patkwa dan segala tanda-tanda dengan gambar untuk mengusir roh jahat. Semuanya campur aduk. Kuil Budha dan klenteng juga masih banyak dikunjungi orang. Tapi gereja pada hari Minggu juga penuh.  Inilah bentuk satu masyarakat yang berjalan sering antara kereligiusan dan bisnis yang ketat. Di toko-toko kecil tanda-tanda itu makin mencolok. Hu hu dari klenteng terdapat di mana-mana.

Dalam berdagang, semboyan mereka adalah mencari untung, tetapi yang wajar saja. Karenanya orang memang senang berbelanja di Hongkong. Mereka juga tidak menipu. Barang murah mereka jual murah. Barang mahal mereka jual mahal. Semuanya menurut aturan bisnis yang sehat. Ini saya dengar dari masyarakat Hongkog sendiri. Benar tidaknya harus punya cukup  waktu untuk menelitinya. Tapi, masyarakat Hongkong memang menarik. Sebab, antara kepercayaan terhadap fungsui dengan bisnis erat sekali hubungannya. Seorang ahli fungsui biasanya merangkap ahli astrologi atau fortune teller. Peramal nasib masa depan.

Rasanya tak bisa dibayangkan bahwa bisnis yang modern dikendalikan oleh kepercayaan terhadap fungsui. Termasuk bagaimana barang dagangan harus diatur.

Jadi, kalo melihat stan-stan saling diatur seperti tampaknya berserakan, jangan dianggap itu seni menata ruangan. Tapi, itulah fungsui yang didasarkan pada kepercayaan  bahwa pada areal ini stan harus menghadap selatan. Stan yang lainnya pada areal yang lain menghadap ke barat, sehingga pembeli menghadap ke timur. Seluruh nafas kehidupan tampaknya ditarik dari kepercayaan fungsui. Apakah plaza-plaza di Surabaya demikian juga, saya tidak pernah memperhatikan. Tapi, sumber dari ahli fungsui yang berpraktek di bawah mansion tempat saya menginap mengatakan semua kehidupan di Hongkong diatur fungsui. Suatu kantor kerja lebih-lebih letak meja kursi, tempat duduk tamu diatur fungsui.

Tetapi, para ahli itu berpendapat, pembangunan Hongkong denga pencakar langit itu menjadikan Hongkong secara fungsui menjadi kuburan. Seperti makam raksasa dengan gedung-gedung itu sebagai nisannya.

Saya sependapat bahwa pembangunan gedung-gedung bertingkat sekarang ini menjadikan fungsui Hongkong menjadi tambah jelek lagi. Tetapi, saya tak menduga bahwa ahli fungsui mereka sendiri  ternyata beranggapan banhwa Hongkong sekarang justru sudah berubah menjadi makam raksasa!

Suhu Ng, sekarang sudah berusia tujuh puluh tiga tahun. Ia sudah tidak mempunyai keluarga lagi yang menjadi tanggung jawabnya. Dulunya ia berasal dari Kanton dan menetap di Hongkong sudah puluhan tahun yang lalu. Kepandaiannya meramal fungsui dipelajari dari sebuah buku kuno yang berhasil dimiliki ketika hijrah ke Hongkong. Buku tersebut sekarang sudah terlalu tua dan halamannya sudah banyak yang rusak.

Anaknya enam orang. Sekarang sudah jadi semua. Tiga di antaranya lulusan sekolah tinggi, dan dua lainya sekarang di Amerika Serikat, menjadi warga negara sana. Yang lain, sudah bekerja di Hongkong, ia mempunyai delapan belas cucu dari semua anak-anaknya itu.

Penghasilannya sekarang yang menurut pengakuannya rata-rata tiga ribu dollar Hongkong, disimpan dalam bank. Sewaktu-waktu kalau tahun baru sebagian uang tersebut diambil untuk anak cucunya yang akan berkumpul. Ia, sebagai kepala keluarga, yang harus mentraktir. Memberi angpau pada cucu-cucu.

Seperti yang sudah diceritakan oleh suhu Ng, pemerintah  Inggris pun pada akhirnya terpaksa ikut mempercayai fungsui. Lebih banyak dolar terpaksa harus dikeluarkan untuk mengganti rugi tempat-tempat yang akan dipergunakan untuk tempat umum.

Karena menurut kepercayaan masyarakat, fungsui Hongkong tidak begitu baik, maka jika tempat-tempat umum dibangun sembarangan, situasi fungsuinya akan semakin parah lagi. Karenanya mereka sering mengadakan reaksi jika menurut mereka tempat-tempat yang dipilih oleh pemerintah itu bisa memperjelek fungsui. Kalau sudah seperti ini, lantas terjadi sengketa antara pemerintah dan masyarakat yang didukung oleh para ahli fungsui. Padahal jumlah ahli fungsui di sana, menurut Suhu Ng cukup banyak. Mereka kemudian juga mengundang ahli fungsui dari Cina yang biasanya membenarkan teori para ahli fungsui dari Hongkong. Dan pemerintah Inggris menjadi tidak berdaya. Akhirnya terjadi perundingan ganti rugi dan biasanya masyarakat selalu menang.


Kiriman dari Hongkong (6):Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit


JAWA POS, KAMIS LEGI 20 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (6)

Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit

Untuk mengatasi fungsui yang jelek, konon Har Par Mansion milik jutawan balsam cap macan didirikan pagoda yang tinggi sekali.
Ingat Bruce Lee, bintang film yang kemudian tenar karena kemahirannya mengilmiahkan seni bela diri kungfu yang tersohor itu? Berbagai macam analisis tentang kematiannya bermunculan pada saat itu. Tapi, suatu hal yang menarik ialah bahwa orang kemudian menghubungkan kematiannya dengan fungsui atau hongsui.

Sebenarnya dikaitkannya kematian Bruce Lee dengan hongsui tak mengherankan kita, karena fungsui ini di Hongkong begitu popular dan tampaknya setiap orang mempercayai keampuhan fungsui. Dalam bagian lain tulisan ini akan saya coba untuk menerangkan bagaimana anggapan orang Hongkong tentang fungsui itu sendiri yang memiliki kekuatan dahsyat dalam kehidupan seseorang.

Sebelum Dinasti Ming (1368-1644) Hongkong (yang artinya pelabuhan dupa) pertama kali ditemukan oleh Lei Chen Uk pada abad ke-7. Saat itu orang beranggapan bahwa fungsui pulau ini sunggu jelek. Baru pada abad ke-16 Portugis mulai datang dan fungsui mulai dilupakan orang. Masyarakat kemudian diajar agama Katolik dan pengetahuan yang tradisional ini dianggap pengetahuan yang bodoh.

Tapi, fungsui itu sendiri, dipercaya atau tidak, akan tetap berjalan. Apalagi ketika malapetaka demi malapetaka kemudian terjadi. Sebenarnya malapetaka itu sendiri disebabkan orang, kemudian mendirikan rumah seenaknya, sehingga suasana lingkungan makin tidak diperhatikan. Apalagi sebagai sebuah kepulauan, Hongkong seringkali harus bersahabat dengan kekerasaan alam. Taifoon yang bertiup di sana seringkali sangat ganas.

Mereka kemudian menghubungkan kembali dengan pengetahuan tradisional mereka yang sudah turun temurun, yakni fungsui.

Mereka kemudian mulai berani menggugat orang-orang Portugis yang berkuasa, juga kepada Inggris.

Sampai sekarang pemerintah Inggris kalau membuat gedung untuk kepentingan umum hati-hati sekali. Mereka bertanya dulu kepada ahli fungsui.

Begitulah kemudian ketika Bruce Lee, aktor pujaan mereka meninggal dunia secara tiba-tiba. Mereka mencoba membongkarnya dari segi fungsuinya.

Ceritanya menurut orang-orang Hongkong adalah sebagai berikut. Villa yang dihuni oleh Bruce Lee adalah villa yang memang besar dengan panorama yang indah dan sangat luas. Tapi, ditilik dari segi fungsui sangat jelek. Pemborongnya bangkrut, pemiliknya kemudian bangkrut, dijual tidak laku.

Lantas muncul Bruce Lee, Dia memang orang Cina, tapi baru datang dari Amerika.

Dia tidak mempercayai tahyul. Tapi, ketika dia akhirnya mengalami nasib yang tragis, orang lantas ingat pada keberaniannya membeli villa tadi.

Dari mulut ke mulut, berita ini tersebar dan akhirnya kepercayaan kepada fungsui kembali merajalela. Suhu fungsui pun semakin diperhatikan orang. Itulah sebabnya kemudian mengapa perumahan rakyat yang dibangun oleh pemerintah di daerah pemukiman yang baru begitu disukai orang. Orang rela menyewa dengan harga yang tinggi. Persoalannya ada kepercayaan bahwa pemerintah dalam menentukan daerah pemukiman baru yang kemudian dibangun flat-flat denang tinggi sampai lebih tiga puluh tigkat, sudah memperhatikan fungsui yang betul.

Tapi, Hongkong begitulah situasinya. Padahal fungsui sendiri menurut awal dari sononya, merupakan ilmu tentang kuburan. Orang Cina percaya bahwa makam yang letaknya bagus akan membawa berkah kepada anak cucu yang ditinggalkan.

Tapi, fungsui di Hongkong tampaknya berkembang lain dengan pengertian fungsui di Indonesia. Di Indonesia sebidang tanah dianggap mempunyai fungsui tersendiri. Oleh karena itu para ahli fungsui masih menghitung arah barat, timur, selatan, dan utara. Dicoba ditarik garis meridiannya untuk mencari di mana nantinya garis merah yang ditarik dan pada garis merah itu pantang orang mendirikan bangunan atau tempat kerja. Ibaratnya semua ditentukan secara pribadi, perorangan. Jadi, rumah menurut kepercayaan hitungan di Indonesia mempunyai fungsuinya sendiri-sendiri. Tanah di rumah itu yang menentukan bahagia tidak penghuninya.

Menurut pendapat saya, dalam banyak hal masyarakat Hongkong memang diselimuti kepercayaan terhadap hongsui. Letak meja makan, lemari es, peti keci penyimpan uang, semuanya ada aturannya. Meskipun demikian  fungsui tampaknya tidak membelenggu mereka. Mereka bersikap biasa. Kalau ada penghuni baru yang pindah rumah, mereka sering telpon, E…kulkas saya nanti diletakkan di mana?

Para ahli fungsui di Hongkong rata-rata membanggakan ilmu mereka sebagai ilmu simpanan yang orang lain tak boleh tahu. Seorang supir taksi membawa saya kepada seorang ahli fungsui yang terkenal. Tempatnya di gang di daerah Nathan Street. Daerah ini termasuk daerah elit. Tapi, bekas-bekas kota lama dengan gang yang berliku-liku masih ada. Dan, di situlah ahli fungsui yang shenya Ng itu berpraktek. Kalo cuma soal yang gampang tarifnya dua puluh dolar Hongkong. Kalau dihitung satu dolar Hongkong sama dengan Rp. 215,-. Tarif tersebut sebenarnya tidak mahal. Selebihnya bisa 100 dolar Hongkong.

Suhu Ng tak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Bahasa Cinanya juga cuma bahasa Kanton. Sopir  saya yang baik hati menguasai bahasa Inggris menceritakan maksud kedatangan saya. Saya ingin mengetahui tentang fungsui di Hongkong dan bukan ingin diramal. Ia menatap saya dengan heran. Tampaknya ia betul-betul heran. Tampaknya Indonesia ini begitu asing baginya. Kemudian saya saya sebut bahwa saya dari Jawa. Nah, Jawa ini rupanya dia kenal. Sedikitnya ia pernah mendengar kata Jawa, tentu saya tidak memperkenalkan diri sebagi pengasuh rubrik hongsui di Jawa Pos Minggu.

Ia masih meragukan mengapa saya bertanya tentang fungsui yang dalam dialek melayu disebut hongsui, Saya lantas meminta kertas dan pena.

Saya menggambar sebuah denah rumah seperti yang sering diajukan kepada saya oleh pembaca surat kabar ini. Saya buat sebuah denah dengan tiga kamar yang jentrek tiga. Dengan gerak tangan saya memberi tanda bahwa denah rumah seperti ini tidak baik untuk ditempati.

Ia kembali menatap diri saya. Saya gambar sebuah denah lagi dengan taman di muka, Saya kemukakan bahwa menurut Hongsui kolam air yang indah itu tidak baik untuk kesehatan penghuninya. Semuanya saya utarakan lewat sopir Tsu yang baik hati. Sekarang nampaknya ada sedikit rasa familiar pada wajah Suhu Ng itu.

Fungsui pada masa ini menurut Suhu Ng diterima sebagai sistem modern. Dasarnya sebetulnya klasik kuno yang dirumuskan secara sistematis oleh Wang Chi dan ilmuwan lain pada zaman Sung (1126-1278), Menurut ilmuwan-ilmuwan ini, ada suatu prinsip abstrak pada mulanya yang  pertama-tama menyebabkan semua yang ada dimuka bumi ini. Pada saat kekuatan ini bergerak, napasnya menimbulkan kekuatan lelaki (yang) dan ketika beristirahat terjadilah kekuatan perempuan (yin). Energi yang digerakkan kedua kekuatan itu disebut “Ch’i” atau nafas dari alam. Ketika nafas ch’i berlanjut, menghasilkan kekuatan lelaki dan perempuan yang pertama, maka secara bertahap seluruh alam semesta dan isinya terjadi dan berlangsung menurut hukum yang mantap dan stabil disebut “Li”. Semua hukum ini diamamati oleh orang-orang kuno sebagai bekerja menurut prinsip matematika yang tetap didominasi oleh semesta, disebut “So”. Keempatnya (yang, yin, li dan So) menjadi sitem teoretis dari fungsui.

Meski semua ini kedengarannya abstrak, aplikasinya dalam sejarah Cina sangat praktis. Tulisan-tulisan zaman dulu menyebutkan bahwa setiap bangunan pemerintah didirikan berdasarkan saran-saran para ahli fungsui.

Demikian juga istana dan kuil-kuil. Bahkan di Hongkong, Singapura dan Taiwan pada masa ini aspek fungsui masih berpengaruh terhadap modernisasi. Misalnya, sebuah blok perumahan untuk rakyat harus diubah bentuk bangunannya karena tidak ada yang mendiaminya Karena pintu-pintu yang saling berhadapan dianggap sebagai fungsui yang jelek. Baru setelah letak pintu diubah penduduk mau meninggalinya. Ketika membangun Hotel Regent yang bagus itu, para arsitek harus meyakinkan bahwa pembangunan tersebut tidak merusak keindahan pemandangan laut. Itulah sebabnya, hotel tersebut membangun semacam “atrium” kaca yang besar, sehingga pelabuhan dapat tampak dari sana. Inilah yang dikatakan fungsui yang bagus.

Kiriman dari Hongkong (5): Ramalan Mr. Wong setelah 1997


JAWA POS RABU KLIWON 19 NOVEMBER 1986

Ramalan Mr. Wong setelah 1997

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (5)

Perahu yang hilir mudik jadi pemandangan tersendiri.
Mr. Wong sendiri tokoh penting organisasi Tong yang mengaku orang Kalimantan ini tampaknya berasal dari Samarinda. Ketika saya tayakan apakah asli Samarinda, Mr. Wong tak mau bicara.Tapi kesan saya sudah pas. Ia banyak berbicara tentang Kalimantan, tapi menjurus ke Kota Samarinda.

Organisasi semacam Tong mungkin saja akan tumbuh kembali setelah 1997. Menurut pendapat Mr. Tong, jika Hongkong masuk kembali ke wilyah RRC, maka situasinya akan berlainan. RRC memang tak mungkin membuat Hongkong seperti RRC. Tapi jelas RRC tak ingin negeri ini lebih maju dari tanah seberang (maksudnya RRC). Menurut pendapat Mr. Wong, RRC nanti akan menurunkan kemakmuran penduduk di Hongkong dengan macam-macam cara.

Ketika saya kemukakan alasan lain yang bertolak belakang dengan pendapatnya, yakni bahwa justru RRC akan membuat makmur negeri ini agar bisa jadi cermin tentang RRC yang berada disebrangnya, ia Cuma tertawa“ Someday Tong must be great again,” katanya dengan dialek kanton Inggris.

Organisasi Tong tampaknya memang akan tetap hidup. Terutama sekali sampai sekarang, menurut Mr. Wong, siapapun yang pernah ditolong organisasi Tong dalam batinnya ada kaitan tersendiri dengan organisasin yang sudah tidak ada lagi ujudnya fisiknya itu. Dan menurut Mr. Wong, masyarakat Cina yang religius akan berdoa terus sebagi rasa terima kasih atas pertolongan Tong. Mereka akan sembayang terus menerus dan mengharapkan Tong terus jaya. Inilah sifat religius yang pasti menguntungkan Tong di kemudian hari.

Mr. Wong sendiri yang sekarang berusia lebih dari lima puluh tahun sudah bisa hidup santai dan senang di Kowloon. Tak ada yang berani mengganggunya, karena semua orang tau ia adalah seorang tokoh Tong tempo doeloe dan sekarang hidup terhormat. Mr. Wong tak peduli apakah organisasi punya konotasi buruk atau baik. Baginya yang penting berbuat kebaikan untuk masyarakat dan ia tak peduli apa kata orang. Apakah tentang penyelundupan masih dilakukan? Mr. Wong menggelengkan kepala. Sekarang ini, menurut pengakuannya, tindak kriminal sejauh mungkin dicoba dihindari. Sekarang ini, dengan luasnya hubungan, bisnis yang sehat bisa dilakukan. Jadi, buat apa berbuat illegal.

Mr. Wong sendiri sekarang ini bergerak di bidang pelayaran internasional, Ia mempunyai duapuluh delapan kapal dengan tonase yang besar. Banyak pula yang berhubungan dengan orang-orang Indonesia. Tapi, sekali lagi ke arah Kalimantan. Pada akhir pembicaraan yang kami lakukan di rumah seorang yang bersahabat dengan Tong dan bertindak sebagai perantara pertemuan ini (sayang dia tak mau disebut namanya atau identitasnya) menyatakan bahwa orang tak perlu takut lagi terhadap organisasi semacam Tong.

Ketika Mr.Wong minta izin untuk ke “belakang” saya kemudian mendapat penjelasan dari tuan rumah bahwa ia sudah lama meninggalkan Samarinda. Sekarang hampir semua saudaranya yang tadinya asal Samarinda ada di sini. Bahkan, salah satu saudaranya merupakan orang yang terkemuka yang dulunya berasal dari organisasi Tong.

Sungguh tak terpikir oleh saya bahwa pimpinan Tong adalah orang asal  Indonesia. Bakan tuan rumah bilang, dulu juga ada pimpinan Tong yang orang Jawa. Benar-benar orang Jawa. Sekarang orang tersebut sudah balik ke Indonesia. Namanya yang dikenal adalah Junaedhi, anak Jawa yang diambil anak angkat juragan Cat di Kenjeran

Memang begitu berpengaruh orang-orang asal Indonesia di sana. Bahkan, flat yang saya tempati ternyata milik keluarga Wong (bukan Mr.Wong seperti yang dimaksud dalam tulisan sebelum ini), juga berasal dari Indonesia. Saya sengaja ingin menginap di flat, dan bukan di hotel, agar bisa lebih menghayati kehidupan mereka.

Untuk menginap di situ tarifnya 90 dolar Hongkong tiap malam. Kalo mau tambah makan harus tambah uang. Masakan Ny. Wong enak sekali. Di Hongkong, karena dekat pantai, masakan laut lebih dominan, yakni masakan laut gaya Cina, yang khas itu.

Tadinya saya dijanjikan akan mendapat satu kamar untuk saya sendiri. Tapi ternyata, ketika saya datang, kamar itu sudah ditempati orang lain. Saya tidak mau tarik urat leher. Saya menyerah saja ketika harus tinggal dengan orang lain di satu kamar.

Ketika itu, saya belum tahu siapa yang akan jadi teman sekamar saya. Agak was-was juga karena siapa tahu mendapat  teman yang kurang cocok. Tapi, sebagai wartawan ada juga untungnya. Dengan demikian teman baru, berarti akan mendapatkan tambahan informasi.

Ternyata calon teman itu seorang tua yang ketika saya masuk dia baru saja bangun tidur. Dia memperkenalkan diri bernama Ong, tetapi saya tidak terlalu memperdulikan, karena yang terpenting bagi saya adalah mendambakan istirahat. Perjalanan dari Surabaya yang sempat tertunda di Jakarta karena mesin pesawat rusak, cukup melelahkan.

Tapi, Pak Ong berusaha mengajak bicara. Dia bertanya saya dari mana dengan bahasa Inggris. Ketika saya jawab bahwa dari Surabaya, dia segera memberikan kartu nama. Ternyata dialah Pak Ong, orang Gembong Sayuran Surabaya yasng namanya sering saya dengar sebagai seorang tokoh fotografi.

Keesokkan harinya, masih ada satu orang lagi yang dimasukkan kekamar itu, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sebuah tempat tidur darurat dipasang di situ. Dan, tamu itu ternyata juga orang dari Kapasan Surabaya

Ong memulai karirnya dibidang fotografi pada 1942 ketika Jepang masuk. Saat terakhir ia menerima gaji 60 gulden bekerja di toko kain itu. Sangat besar, dan ia memang bisa mengembangkan hobinya. Jepang masuk, hobi itu tetap diteruskan. Merasa tak ada kemajuan di Surabaya, ia berkorespondensi dengan orang-orang Hongkong. Dari situ, dia memetik pengalaman bermanfaat, Kemudian dia ikut mendirikan Foto Fans di Surabaya. Tidak menjabat mengurus, karena ia orang asing. Ong memang tak ada keinginan untuk menjadi warga Negara Indonesia, meskipun lebih dari separuh usianya dilewatkan di Indonesia. “Saya sudah tua dan saya tak ada bisnis,” katanya. Sekarang Ong ikut aktif sebagai juri. Medali dan trofi kemenangan dari berbagai Negara didunia sudah diperoleh.

Sejak perkenalan itu kami berdua jadi akrab. Meskipin berpengalaman lama sebagai jurnalis, saya jarang sekali mempergunakan kamera. Saya belajar banyak dari Pak Ong tua ini, yang jalannya lebih cekatan dari saya yang terbilang jauh lebih muda jika dibandingkan dengan usianya.

Suami istri pemilik flat yang disewakan ini awalnya dari Jember. Suami istri Wong ini pada 1966 meninggalkan Indonesia, karena pendidikan untuk anak-anaknya terputus. Ia kemudian pergi ke RRC. Bertempat tinggal selama 14 tahun di sana. Keluarga Wong kemudian mengajukan surat permohonan keluar negeri pada tahun 1975. Baru dikabulkan 1980. Dengan bantuan modal dari saudara-saudaranya yang masih ada di Indonesia, ia membeli flat ini. Sekarang hidupnya tenang. Kamar yang saya tempati bersama Pak Ong diisi dengan dua ranjang susun. Kamar yang lain yang agak besar, tiga kali empat meter begitu, ada tiga ranjang susun. Semuanya penuh. Penghasilan yang cukup. Untuk Nyonya Wong meskipun tampaknya tak bekerja, tapi dia bisa memungut uang makan dari penghuni yang menyewa kamar di flatnya. Setiap makan 20 dolar Hongkong. Tapi yang seperti saya utarakan, makanannya enak sekali.

Hidup seperti keluarga Wong ini santai saja. Tampaknya dunia memang sudah tercipta buat mereka. Menikamati pemandangan Hongkong di malam hari yang penuh gemerlapnya lampu-lampu. Lantas lautan di muka flat dengan hilir mudiknya kapal besar dan kecil, tampaknya memang impian tiap orang. Hongkong betul-betul mempesona bagi mereka yang sudah tidak memikirkan lagi masalah tempat tinggal. Bagi mereka yang sudah bebas dibebani membayar sewa rumah, masalah hidup bisa menabung setiap hari. Siapa yang hemat pasti bisa kaya. Di sini berlaku pepatah: Hemat pangkal kaya. Ini benar-benar terjadi.

Bagi orang-orang seperti keluarga Wong, orang-orang sama-sama satu flat tak pernah memperlihatkan sikap politiknya tentang 1997. Semuanya pasrah. Tak ada ambisi sama sekali. Mereka masih punya pengalaman dengan RRC. Mereka baru saja berhasil keluar dari negeri raksasa tersebut seperti keluarga Wong lima tahunan paling lama. Lainnya memang ada yang lebih lama, tap, tidak seperti sahabat saya Goei yang akan saya ceritakan nanti, tak ada yang peduli tentang nasib negeri ini di kemudian hari.

Keluarga Wong yang fasih bahasa Indonesia, mengandalkan hidupnya memang dari turis-turis Indonesia. Dari mulut ke mulut orang membicarakan penginapan pribadi yang diusahakannya. Murah dan makanannya enak. Lebih-lebih terletak di pusat keramaian Kota Hongkong. Apalagi yang mau diharapkan oleh keluarga Wong ini. Selain pasrah menghadapi hari esok, sementara sekarang yang penting ialah menabung untuk hari esok.

Semangat kerja keras ini belum bisa kita miliki. Kita memang terlalu santai. Terutama jika dibandingkan dengan kehidupan di Hongkong. Yang dibilang shopping, lihat-lihat keramaian toko itu tak ada. Semua berbegas mencari tujuan. Habis itu pulang. Belum 100% terasakan bahwa waktu itu uang, di Hongkong. Tapi yang jelas, rata-rata mulai merasakan bahwa waktu itu sangat berharga. Hilir mudik orang jalan juga terasakan bahwa mereka berjalan cepat. Apakah karena cuaca yang dingin dan berangin, atau mereka memburu waktu, entahlah. Tapi yang jelas, berjalan kaki ini membuat orang Hongkong jadi sehat. Lahir batin mereka sehat.

Isu bahwa banyak copet di Hongkong sepengetahuan saya tak ada. Hongkong sekarang mungkin berbeda dengan tahun-tahun yang silam. Hongkong sekarang sudah memperlihatkan wajahnya yang asri dan penuh pesona untuk wisatawan. Yang mencolok adalah orang Jepang banyak berdatangan di Hongkong. Mengapa? Tentunya ada udang di balik batu. Bisnis memang terbuka buat mereka menggantikan modal domestik yang lari keluar sejak 1984.



Kiriman dari Hong Kong (4): Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong


JAWA POS, SELASA WAGE 18 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (4)

Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong
Hongkong dengan gedung tertinggi di Asia

Apakah anda tidak ingin kembali ke Indonesia, tanya saya. Taipan Oei menggelengkan kepala. Juga ketika ditanya apakah ia tidak berniat membuka bank sebagai cabang di Surabaya atau kota besar lainnya di Indonesia. Dia cuma mengatakan bahwa sekarang ini di dunia sedang menghadapi kerja keras. Orang tidak bisa hidup makmur kalau cuma bekerja sekian jam saja sehari.  Anda mungkin sepuluh tahun lagi akan melihat wajah Hongkong yang lain. Sekarang masyarakat sedang berjuang untuk memiliki perumahan. Sepuluh tahun lagi masalah tersebut akan sudah teratasi. Dengan demikian nantinya mereka akan bisa menanta diri dengan sebaiknya. Dan Anda sudah tidak bekerja lagi sesudah jam  empat. Taipan Oei menyayangkan cara kerja negara berkembang yang agak santai. Menurut pendapatnya, kita harus bekerja lebih dari tujuh jam sehari. Saya sendiri bekerja hampir dua puluh jam sehari," kata Taipan terkemuka asal Pengampon ini.


Setiap ada persengketaan dengan pihak pemerintah kolonial, misalnya ada kenaikan sewa flat-flat di tempat pemukiman baru, selalu Taipan yang maju. Kadang bisa main telepon, kadang harus lobi, tapi kadang harus dihadapi dengan kekerasan, karena suara Taipan bukan suaranya sendiri melainkan suara seluruh warga yang dimiliki.

Tentang kenaikan sewa atau kontrak, pemerintah memang bisa salah tingkah. Taipan-taipan ini yang didukung oleh warga masyarakat setempat memang bisa punya kekuasaan yang besar sekali. Mereka bisa memboikot uang sewa atau uang kontrak, kemudian kalau perlu mereka bisa mendirikan perumahan sendiri yang baru karena dana ada pada mereka. Tetapi, Taipan jarang sekali mempergunakan cara-cara perundingan yang konfrontatif. Taipan sering cuma senyum saja menghadapi segala persoalanyang rumit. Ini menuntut kemahiran dalam hubungan kemasyarakatan dan ilmu manajeman tingkat tinggi. Dengan senyum, seorang Taipan bisa menerobos segala pintu yang semula tertutup rapat. 

Itulah bedanya antara Taipan dan Triad atau Tong. Asal usul timbulnya istilah Tong adalah ketika orang-orang Kanton mulai berdatangan ke Hongkong.

Jarang orang mengetahui bahwa kuatnya orang Cina bergerak di bidang bisnis, semula adalah justru karena organisasi ini, yang ketika itu masih belum punya konotasi negatif.Sebuah organisasi yang dulunya sebenarnya mempunyai asas kekeluargaan yang berasal dari budaya mereka di Kanton tempat asal orang yang kemudian disebut rakyat asli Hongkong.

Dulu, organisasi itu yang berkembang subur di daratan Cina maksudnya menolong sesama yang terkena musibah bencana alam.Atau yang sangat melarat, karena dirampok dan lain sebagainya. Keadaan masyarakat di Cina saat itu memang miskin dan taraf pendidikan mereka pun rendah. Situasi yang sedemikian itu mereka bawa ke Hongkong ketika mereka mulai memasuki Hongkong. Serba miskin dan serba tidak mampu dalam segala bidang.

Kepala-kepala Tong akhirnya bertindak. Mereka yang terkena musibah atau tak bisa mencari nafkah di Hongkong dipinjami uang tanpa bunga. Tapi tiap bulan mereka harus mengembalikan dalam jumlah tertentu. Perhitungan mereka, setahun atau dua tahun bisa lunas modal itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan demikian, mereka tidak terjerat oleh lintah darat. Dalam pengertiannya yang positif ini, tampaknya gerakan Tong ini bisa ditiru.

Di Indonesia dikenal juga yang namanya arisan Tong, arisan mati tanpa piao. Arisan ini sudah tidak terbatas hanya pada suku Hokjia saja, melainkan kepada siapa saja yang punya sifat suka menolong yang miskin. Bentuknya seperti yang di Hongkong itu. Makin banyak relasi seseorang, makin banyak orang yang mau ikut arisan. Itulah sebabnya, mengapa orang Tionghoa paling pegang nama. Mereka tidak suka menipu sesamanya dalam berdagang. Kalau mereka bangkrut, bukan karena menipu atau berspekulasi, tetapi karena huru hara, kebakaran dan lain-lain, maka selalu ada yang menolong mereka dengan arisan Tong itu.Tak perlu mereka yang meminta. Cukup diketahui saja bahwa ia rudin, maka semua orang akan membantu atas dasar prinsip itu.

Tong pada dasarnya demikian. Tapi di Hongkong, ternyata ia tak bisa berkembang sesuai dengan tradisi awalnya. Ternyata, begitu banyak orang miskin di Hongkong dan begitu banyak orang yang harus mereka bantu. Karenanya, kemudian mereka ’”terjerumus” dalam usaha yang kurang wajar.

Jadilah kemudian usaha penyelundupan di mana-mana dan Hong Kong kemudian dikenal sebagai pusat penyelundupan yang terbesar didunia setelah Singapura. Kegiatan yang negatif itu bahkan merusak nama Tong sendiri..Nama Tong bahkan diidentikkan dengan Triad, yang bergerak dalam perdagangan narkotika. Pada diri Tong lantas ada perasaan mengganjal terhadap Triad, terutama setalah Triad mengalihkan profesinya dari menjaga toko-toko ke bisnis narkotika, di mana masyarakat Hongkong sendiri terkena getahnya.

Dalih menyelamatkan warga Hongkong sebenarnya tak selamanya murni dalam perjuangan sindikat Tong tempo doeloe.Ada yang menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk kepentingan diri sendiri. Ini sebenarnya lumrah, tapi bagi sindikat seperti Tong itu berakibat fatal. Banyak terjadi pertempuran dan saling bunuh di antara mereka sendiri.

Kapan Tong bubar tak ada yang bisa mengetahui dengan pasti. Organisasi itu secara fisik mungkin memang tidak ada. Tapi secara spiritual ia masih tetap ada sampai sekarang. Sindikat Tong yang murni memang tak mungkin secara fisik dimatikan.

Kesan orang Inggris terhadap orang Cina memang berlainan sekali dengan Belanda terhadap orang Cina. Dalam masyarakat kolonial Belanda, orang Cina masih tetap diperhitungkan.


Tapi dalam stelsel pemerintahan di Hongkong itu, orang Inggris melihat Hongkong secara keseluruhan. Mereka tidak pernah melihat orang-orang Cina secara pribadi. Yang mereka ketahui hanyalah, berapa pajak yang mereka bayar untuk Sri Ratu. Itu saja. Tidak ada usaha memajukan mereka. Mereka harus berusaha maju sendiri. Meskipun sudah barang tentu universitas juga banyak didirikan.Tapi  pendidikan di sana sangat mahal. Keluarga yang berpenghasilan dua ribu dolar dan ini hampir sama dengan uang kita sebanyak empat ratus ribu Rupiah lebih, takkan mampu membiayai anaknya sekolah di perguruan tinggi. Mereka harus membanting tulang sampai jauh malam. Inipun dengan catatan bahwa soal rumah sudah bukan problem lagi bagi mereka. Jika masih ada problem rumah, artinya mereka masih harus membayar sewa atau kontrak rumah, tak mungkin mereka menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dalam hal ini, seringkali sindikat Tong masih memperlihatkan wajahnya yang manis dan bersahabat.

Keuangan Tong sekarang dari mana? Itulah memang sekarang pertanyaan yang paling mendasar yang dipertanyakan orang. Sebab secara fisik mereka sudah tidak terlihat lagi, tempo doeloe mereka memang mengesankan seram dan seperti pendekar-pendekar. Sekarang suasana itu tak ada lagi. Tapi setiap kesulitan, warga Hongkong yang lama masih teringat pada Tong.

Mr.Wong (nama ini nama samaran) yang alamatnya saya dapatkan dari seorang kawan merupakan orang yang paling tahu tentang Tong itu, meskipun ia terus-terusan tak tahu bagaimana situasi Tong itu sekarang.

Menurut Mr. Wong, Tong sudah mati. Seandainya masih adapun, tentu saya terlibat. Mr. Wong adalah tokoh yang sekarang membantu para pemilik perahu untuk menaikkan kesejahteraan hidup anggotanya. Banyak yang telah diperbuatnya, misalnya dengan motorisasi. Masyarakat kemudian beranggapan bahwa motorisasi itu merupakan upaya terakhir dari organisasi Tong. Padahal, menurut Mr. Wong yang berperawakan kurus, tak mencerminkan bekas tokoh organisasi Tong itu, semuanya itu merupakan kerja organisasi yang terurus rapi dan bekerja sama dengan bank-bank yang bersedia memberikan kredit dengan bunga yang lunak.

Sebenarnya menurut Mr. Wong yang harus dilihat dari skala kecil saja keadaan di Hongkong Ini. Masyarakat mau apa, itulah yang kita penuhi. Jangan sampai mereka lari ke arah tindak kriminal. Situasi sekarang sudah berlainan. Dulu sering kita beradu otot, sekarang polisi tinggal …door begitu saja. Mr. Wong mengacungkan telunjuknya seolah-olah menembak. Berbuat kejahatan tak ada artinya lagi sekarang. Sekarang kita harus pakai ini, seraya ia menunjuk dahinya.

Saya kemudian terkejut bahwa Mr. Wong ternyata orang Kalimantan. Ia kemudian menyatakan bahwa ia kenal baik kota Samarinda, Balikpapan, dan Banjarmasin. Menurut Mr. Wong juga di Indonesia ada organisasi semacam Tong itu. Beberapa waktu yang lalu masih tumbuh suburdi Hongkong, Indonesia termasuk juga jalur-jalir penyelundupan yang merupakan surga. Sekarang seperti di Hongkong sindikat Tong di Indonesia tidak berbentuk lagi dan mereka kembali ke bentuk asal, lebih ke arah yang baik. Artinya lebih bersifat kolektif menolong sesama yang kebetulan tertimpa mara bahaya atau terkena perkara.