Hongsuinipun (Ebook)

Hongsuinipun
Oleh: Basuki Soejatmiko
Penerbit: Jawa Pos
Surabaya 1988.

Bisa dibaca atau download di:
1. https://issuu.com/nuragustinus/docs/hongsuinipun_-_basuki_soejatmiko
2. https://www.scribd.com/document/359054624/Hongsuinipun-Basuki-Soejatmiko


Kiriman dari Hongkong (7): Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa


JAWA POS, JUMAT PAHING 21 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (7 habis)

Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa.

Sampai serial pertama tulisan ini berakhir hari ini, masih belum ada kiriman baru lagi Basuki Soejatmiko yang hari ini masih didaratan RRC, memang sudah mengira akan mengalami kesulitan pengiriman laporan dari Beijing. Sambil supaya ada penyegaran laporan dari RRC akan diturunkan di lain kesempatan akan datang.

Rikshaw, jenis angkutan yang mulai langka di Hongkong

Seri terdahulu memperlihatkan bagaimana kehidupan orang Hongkong dihantui dengan kepercayaan tentang fungsui.Tetapi, ternyata rata-rata dari mereka mempercayai bahwa fungsui Hongkong sendiri jelek.

Tak perlu seorang ahli fungsui untuk mengetahui hal ini. Hongkong itu sepeti Tretes. Cuma di Tretes tak ada lautan yang membelahnya. Sedang, di Hongkong terletak di lembah. Kalau fungsui mau dipakai secara konsekuen. Mestinya untuk keperluan perumahan bukit-bukit itu yang dijadikan tempat tinggal. Bukan lembahnya seperti sekarang.

Sistem fungsui dengan demikian jadi terpenuhi. Yakni ibarat duduk bersandar gunung memandang lembah. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Dari lembah memandang bukit. Tentu saja tidak klop.

Untuk mengatasinya, orang lantas berlomba membuat gedung pencakar langit di sana. Sebenarnya, secara fungsui ini, juga salah. Tak mungkin orang menyaingi bukit lantas memberikan patkwa di atas gedung bertingkat paling atas. Patkwa adalah satu beda yang biasa dipakai untuk semacam tolak balak. Mestinya laut itu ditimbun tanah bukit seperti di Pantai Ria Kenjeran.
Jika Hongkang mau melebarkan kotanya dengan fungsui yang baik, arah kota yang penuh air itu yang mestinya diubah jadi daratan dengan mengepras bukit. Dengan demikian fungsuinya menjadi bagus. Masalahnya, kalau kemudian ada angin topan, bisa-bisa korban yang berjatuhan lebih banyak.

Sekarang saja hembusan angin memang terasa sangat keras. Apalagi kalau bukit dikepras. Tapi itu satu-satunya jalan untuk membuat fungsui Hongkong menjadi bagus.

Rumah-rumah flat di Hongkong semuannya didirikan atas tanah yang semula berfungsi agak lebih baik dari perumahan tempo doeloe. Cuma, orang Hongkong tak mungkin lagi melihat fungsui secara perorangan. Mereka melihatnya sebagai satu kesatuan. Makin tinggi rumah di perumahan flat mereka lebih suka. Sebab semakin tinggi flat itu, makin mencoba mengatasi ketinggian bukit.

Tapi, sejauh ini, secara perorangan masih dirasakan bahwa orang Hongkong membawa kepercayaan yang penuh terhadap Fungsui. Meski di rumah di flat, tapi mereka tak mau ada pintu masuk dari depan. Ini yang aneh.

Pintu masuk tetap harus di tengah rumah dari arah samping. Bisa langsung berhadapan dengan pintu kamar mandi. Tak ada pintu yang menembus ke belakang. Sebab, menurut kepercayaan fungsui, pintu yang menembus ke belakang bisa membuat orang bangkrut. Yang dari samping yang bagus.

Pada pintu masuk inilah orang Hongkong meletakkan gambar orang suci atau patkwa untuk mengusir kejahatan. Masih kuat kepercayaan mengusir setan itu. Gambarnya besar dan diletakkan di pintu masuk. Selebihnya sama dengan rumah-rumah yang lain. Kamar yang jentrek tiga yang kebanyakan ada di flat seperti milik keluarga Wong menjadi tidak ada masalah. Sebab, pintunya dari samping. Dengan demikian, kamar yang jentrek tiga itu lantas seperti terletak di bagian belakang. Tidak lagi diistilahkan jentrek tiga.

Sulit memang untuk mengetahui apa agama masyarakat Hogkong. Di rumah mereka banyak sekali patung antik Kwan Kong dan Kwan Im. Tapi, ada juga patung Budha yang indah indah. Ada patkwa dan segala tanda-tanda dengan gambar untuk mengusir roh jahat. Semuanya campur aduk. Kuil Budha dan klenteng juga masih banyak dikunjungi orang. Tapi gereja pada hari Minggu juga penuh.  Inilah bentuk satu masyarakat yang berjalan sering antara kereligiusan dan bisnis yang ketat. Di toko-toko kecil tanda-tanda itu makin mencolok. Hu hu dari klenteng terdapat di mana-mana.

Dalam berdagang, semboyan mereka adalah mencari untung, tetapi yang wajar saja. Karenanya orang memang senang berbelanja di Hongkong. Mereka juga tidak menipu. Barang murah mereka jual murah. Barang mahal mereka jual mahal. Semuanya menurut aturan bisnis yang sehat. Ini saya dengar dari masyarakat Hongkog sendiri. Benar tidaknya harus punya cukup  waktu untuk menelitinya. Tapi, masyarakat Hongkong memang menarik. Sebab, antara kepercayaan terhadap fungsui dengan bisnis erat sekali hubungannya. Seorang ahli fungsui biasanya merangkap ahli astrologi atau fortune teller. Peramal nasib masa depan.

Rasanya tak bisa dibayangkan bahwa bisnis yang modern dikendalikan oleh kepercayaan terhadap fungsui. Termasuk bagaimana barang dagangan harus diatur.

Jadi, kalo melihat stan-stan saling diatur seperti tampaknya berserakan, jangan dianggap itu seni menata ruangan. Tapi, itulah fungsui yang didasarkan pada kepercayaan  bahwa pada areal ini stan harus menghadap selatan. Stan yang lainnya pada areal yang lain menghadap ke barat, sehingga pembeli menghadap ke timur. Seluruh nafas kehidupan tampaknya ditarik dari kepercayaan fungsui. Apakah plaza-plaza di Surabaya demikian juga, saya tidak pernah memperhatikan. Tapi, sumber dari ahli fungsui yang berpraktek di bawah mansion tempat saya menginap mengatakan semua kehidupan di Hongkong diatur fungsui. Suatu kantor kerja lebih-lebih letak meja kursi, tempat duduk tamu diatur fungsui.

Tetapi, para ahli itu berpendapat, pembangunan Hongkong denga pencakar langit itu menjadikan Hongkong secara fungsui menjadi kuburan. Seperti makam raksasa dengan gedung-gedung itu sebagai nisannya.

Saya sependapat bahwa pembangunan gedung-gedung bertingkat sekarang ini menjadikan fungsui Hongkong menjadi tambah jelek lagi. Tetapi, saya tak menduga bahwa ahli fungsui mereka sendiri  ternyata beranggapan banhwa Hongkong sekarang justru sudah berubah menjadi makam raksasa!

Suhu Ng, sekarang sudah berusia tujuh puluh tiga tahun. Ia sudah tidak mempunyai keluarga lagi yang menjadi tanggung jawabnya. Dulunya ia berasal dari Kanton dan menetap di Hongkong sudah puluhan tahun yang lalu. Kepandaiannya meramal fungsui dipelajari dari sebuah buku kuno yang berhasil dimiliki ketika hijrah ke Hongkong. Buku tersebut sekarang sudah terlalu tua dan halamannya sudah banyak yang rusak.

Anaknya enam orang. Sekarang sudah jadi semua. Tiga di antaranya lulusan sekolah tinggi, dan dua lainya sekarang di Amerika Serikat, menjadi warga negara sana. Yang lain, sudah bekerja di Hongkong, ia mempunyai delapan belas cucu dari semua anak-anaknya itu.

Penghasilannya sekarang yang menurut pengakuannya rata-rata tiga ribu dollar Hongkong, disimpan dalam bank. Sewaktu-waktu kalau tahun baru sebagian uang tersebut diambil untuk anak cucunya yang akan berkumpul. Ia, sebagai kepala keluarga, yang harus mentraktir. Memberi angpau pada cucu-cucu.

Seperti yang sudah diceritakan oleh suhu Ng, pemerintah  Inggris pun pada akhirnya terpaksa ikut mempercayai fungsui. Lebih banyak dolar terpaksa harus dikeluarkan untuk mengganti rugi tempat-tempat yang akan dipergunakan untuk tempat umum.

Karena menurut kepercayaan masyarakat, fungsui Hongkong tidak begitu baik, maka jika tempat-tempat umum dibangun sembarangan, situasi fungsuinya akan semakin parah lagi. Karenanya mereka sering mengadakan reaksi jika menurut mereka tempat-tempat yang dipilih oleh pemerintah itu bisa memperjelek fungsui. Kalau sudah seperti ini, lantas terjadi sengketa antara pemerintah dan masyarakat yang didukung oleh para ahli fungsui. Padahal jumlah ahli fungsui di sana, menurut Suhu Ng cukup banyak. Mereka kemudian juga mengundang ahli fungsui dari Cina yang biasanya membenarkan teori para ahli fungsui dari Hongkong. Dan pemerintah Inggris menjadi tidak berdaya. Akhirnya terjadi perundingan ganti rugi dan biasanya masyarakat selalu menang.


Kiriman dari Hongkong (6):Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit


JAWA POS, KAMIS LEGI 20 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (6)

Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit

Untuk mengatasi fungsui yang jelek, konon Har Par Mansion milik jutawan balsam cap macan didirikan pagoda yang tinggi sekali.
Ingat Bruce Lee, bintang film yang kemudian tenar karena kemahirannya mengilmiahkan seni bela diri kungfu yang tersohor itu? Berbagai macam analisis tentang kematiannya bermunculan pada saat itu. Tapi, suatu hal yang menarik ialah bahwa orang kemudian menghubungkan kematiannya dengan fungsui atau hongsui.

Sebenarnya dikaitkannya kematian Bruce Lee dengan hongsui tak mengherankan kita, karena fungsui ini di Hongkong begitu popular dan tampaknya setiap orang mempercayai keampuhan fungsui. Dalam bagian lain tulisan ini akan saya coba untuk menerangkan bagaimana anggapan orang Hongkong tentang fungsui itu sendiri yang memiliki kekuatan dahsyat dalam kehidupan seseorang.

Sebelum Dinasti Ming (1368-1644) Hongkong (yang artinya pelabuhan dupa) pertama kali ditemukan oleh Lei Chen Uk pada abad ke-7. Saat itu orang beranggapan bahwa fungsui pulau ini sunggu jelek. Baru pada abad ke-16 Portugis mulai datang dan fungsui mulai dilupakan orang. Masyarakat kemudian diajar agama Katolik dan pengetahuan yang tradisional ini dianggap pengetahuan yang bodoh.

Tapi, fungsui itu sendiri, dipercaya atau tidak, akan tetap berjalan. Apalagi ketika malapetaka demi malapetaka kemudian terjadi. Sebenarnya malapetaka itu sendiri disebabkan orang, kemudian mendirikan rumah seenaknya, sehingga suasana lingkungan makin tidak diperhatikan. Apalagi sebagai sebuah kepulauan, Hongkong seringkali harus bersahabat dengan kekerasaan alam. Taifoon yang bertiup di sana seringkali sangat ganas.

Mereka kemudian menghubungkan kembali dengan pengetahuan tradisional mereka yang sudah turun temurun, yakni fungsui.

Mereka kemudian mulai berani menggugat orang-orang Portugis yang berkuasa, juga kepada Inggris.

Sampai sekarang pemerintah Inggris kalau membuat gedung untuk kepentingan umum hati-hati sekali. Mereka bertanya dulu kepada ahli fungsui.

Begitulah kemudian ketika Bruce Lee, aktor pujaan mereka meninggal dunia secara tiba-tiba. Mereka mencoba membongkarnya dari segi fungsuinya.

Ceritanya menurut orang-orang Hongkong adalah sebagai berikut. Villa yang dihuni oleh Bruce Lee adalah villa yang memang besar dengan panorama yang indah dan sangat luas. Tapi, ditilik dari segi fungsui sangat jelek. Pemborongnya bangkrut, pemiliknya kemudian bangkrut, dijual tidak laku.

Lantas muncul Bruce Lee, Dia memang orang Cina, tapi baru datang dari Amerika.

Dia tidak mempercayai tahyul. Tapi, ketika dia akhirnya mengalami nasib yang tragis, orang lantas ingat pada keberaniannya membeli villa tadi.

Dari mulut ke mulut, berita ini tersebar dan akhirnya kepercayaan kepada fungsui kembali merajalela. Suhu fungsui pun semakin diperhatikan orang. Itulah sebabnya kemudian mengapa perumahan rakyat yang dibangun oleh pemerintah di daerah pemukiman yang baru begitu disukai orang. Orang rela menyewa dengan harga yang tinggi. Persoalannya ada kepercayaan bahwa pemerintah dalam menentukan daerah pemukiman baru yang kemudian dibangun flat-flat denang tinggi sampai lebih tiga puluh tigkat, sudah memperhatikan fungsui yang betul.

Tapi, Hongkong begitulah situasinya. Padahal fungsui sendiri menurut awal dari sononya, merupakan ilmu tentang kuburan. Orang Cina percaya bahwa makam yang letaknya bagus akan membawa berkah kepada anak cucu yang ditinggalkan.

Tapi, fungsui di Hongkong tampaknya berkembang lain dengan pengertian fungsui di Indonesia. Di Indonesia sebidang tanah dianggap mempunyai fungsui tersendiri. Oleh karena itu para ahli fungsui masih menghitung arah barat, timur, selatan, dan utara. Dicoba ditarik garis meridiannya untuk mencari di mana nantinya garis merah yang ditarik dan pada garis merah itu pantang orang mendirikan bangunan atau tempat kerja. Ibaratnya semua ditentukan secara pribadi, perorangan. Jadi, rumah menurut kepercayaan hitungan di Indonesia mempunyai fungsuinya sendiri-sendiri. Tanah di rumah itu yang menentukan bahagia tidak penghuninya.

Menurut pendapat saya, dalam banyak hal masyarakat Hongkong memang diselimuti kepercayaan terhadap hongsui. Letak meja makan, lemari es, peti keci penyimpan uang, semuanya ada aturannya. Meskipun demikian  fungsui tampaknya tidak membelenggu mereka. Mereka bersikap biasa. Kalau ada penghuni baru yang pindah rumah, mereka sering telpon, E…kulkas saya nanti diletakkan di mana?

Para ahli fungsui di Hongkong rata-rata membanggakan ilmu mereka sebagai ilmu simpanan yang orang lain tak boleh tahu. Seorang supir taksi membawa saya kepada seorang ahli fungsui yang terkenal. Tempatnya di gang di daerah Nathan Street. Daerah ini termasuk daerah elit. Tapi, bekas-bekas kota lama dengan gang yang berliku-liku masih ada. Dan, di situlah ahli fungsui yang shenya Ng itu berpraktek. Kalo cuma soal yang gampang tarifnya dua puluh dolar Hongkong. Kalau dihitung satu dolar Hongkong sama dengan Rp. 215,-. Tarif tersebut sebenarnya tidak mahal. Selebihnya bisa 100 dolar Hongkong.

Suhu Ng tak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Bahasa Cinanya juga cuma bahasa Kanton. Sopir  saya yang baik hati menguasai bahasa Inggris menceritakan maksud kedatangan saya. Saya ingin mengetahui tentang fungsui di Hongkong dan bukan ingin diramal. Ia menatap saya dengan heran. Tampaknya ia betul-betul heran. Tampaknya Indonesia ini begitu asing baginya. Kemudian saya saya sebut bahwa saya dari Jawa. Nah, Jawa ini rupanya dia kenal. Sedikitnya ia pernah mendengar kata Jawa, tentu saya tidak memperkenalkan diri sebagi pengasuh rubrik hongsui di Jawa Pos Minggu.

Ia masih meragukan mengapa saya bertanya tentang fungsui yang dalam dialek melayu disebut hongsui, Saya lantas meminta kertas dan pena.

Saya menggambar sebuah denah rumah seperti yang sering diajukan kepada saya oleh pembaca surat kabar ini. Saya buat sebuah denah dengan tiga kamar yang jentrek tiga. Dengan gerak tangan saya memberi tanda bahwa denah rumah seperti ini tidak baik untuk ditempati.

Ia kembali menatap diri saya. Saya gambar sebuah denah lagi dengan taman di muka, Saya kemukakan bahwa menurut Hongsui kolam air yang indah itu tidak baik untuk kesehatan penghuninya. Semuanya saya utarakan lewat sopir Tsu yang baik hati. Sekarang nampaknya ada sedikit rasa familiar pada wajah Suhu Ng itu.

Fungsui pada masa ini menurut Suhu Ng diterima sebagai sistem modern. Dasarnya sebetulnya klasik kuno yang dirumuskan secara sistematis oleh Wang Chi dan ilmuwan lain pada zaman Sung (1126-1278), Menurut ilmuwan-ilmuwan ini, ada suatu prinsip abstrak pada mulanya yang  pertama-tama menyebabkan semua yang ada dimuka bumi ini. Pada saat kekuatan ini bergerak, napasnya menimbulkan kekuatan lelaki (yang) dan ketika beristirahat terjadilah kekuatan perempuan (yin). Energi yang digerakkan kedua kekuatan itu disebut “Ch’i” atau nafas dari alam. Ketika nafas ch’i berlanjut, menghasilkan kekuatan lelaki dan perempuan yang pertama, maka secara bertahap seluruh alam semesta dan isinya terjadi dan berlangsung menurut hukum yang mantap dan stabil disebut “Li”. Semua hukum ini diamamati oleh orang-orang kuno sebagai bekerja menurut prinsip matematika yang tetap didominasi oleh semesta, disebut “So”. Keempatnya (yang, yin, li dan So) menjadi sitem teoretis dari fungsui.

Meski semua ini kedengarannya abstrak, aplikasinya dalam sejarah Cina sangat praktis. Tulisan-tulisan zaman dulu menyebutkan bahwa setiap bangunan pemerintah didirikan berdasarkan saran-saran para ahli fungsui.

Demikian juga istana dan kuil-kuil. Bahkan di Hongkong, Singapura dan Taiwan pada masa ini aspek fungsui masih berpengaruh terhadap modernisasi. Misalnya, sebuah blok perumahan untuk rakyat harus diubah bentuk bangunannya karena tidak ada yang mendiaminya Karena pintu-pintu yang saling berhadapan dianggap sebagai fungsui yang jelek. Baru setelah letak pintu diubah penduduk mau meninggalinya. Ketika membangun Hotel Regent yang bagus itu, para arsitek harus meyakinkan bahwa pembangunan tersebut tidak merusak keindahan pemandangan laut. Itulah sebabnya, hotel tersebut membangun semacam “atrium” kaca yang besar, sehingga pelabuhan dapat tampak dari sana. Inilah yang dikatakan fungsui yang bagus.

Kiriman dari Hongkong (5): Ramalan Mr. Wong setelah 1997


JAWA POS RABU KLIWON 19 NOVEMBER 1986

Ramalan Mr. Wong setelah 1997

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (5)

Perahu yang hilir mudik jadi pemandangan tersendiri.
Mr. Wong sendiri tokoh penting organisasi Tong yang mengaku orang Kalimantan ini tampaknya berasal dari Samarinda. Ketika saya tayakan apakah asli Samarinda, Mr. Wong tak mau bicara.Tapi kesan saya sudah pas. Ia banyak berbicara tentang Kalimantan, tapi menjurus ke Kota Samarinda.

Organisasi semacam Tong mungkin saja akan tumbuh kembali setelah 1997. Menurut pendapat Mr. Tong, jika Hongkong masuk kembali ke wilyah RRC, maka situasinya akan berlainan. RRC memang tak mungkin membuat Hongkong seperti RRC. Tapi jelas RRC tak ingin negeri ini lebih maju dari tanah seberang (maksudnya RRC). Menurut pendapat Mr. Wong, RRC nanti akan menurunkan kemakmuran penduduk di Hongkong dengan macam-macam cara.

Ketika saya kemukakan alasan lain yang bertolak belakang dengan pendapatnya, yakni bahwa justru RRC akan membuat makmur negeri ini agar bisa jadi cermin tentang RRC yang berada disebrangnya, ia Cuma tertawa“ Someday Tong must be great again,” katanya dengan dialek kanton Inggris.

Organisasi Tong tampaknya memang akan tetap hidup. Terutama sekali sampai sekarang, menurut Mr. Wong, siapapun yang pernah ditolong organisasi Tong dalam batinnya ada kaitan tersendiri dengan organisasin yang sudah tidak ada lagi ujudnya fisiknya itu. Dan menurut Mr. Wong, masyarakat Cina yang religius akan berdoa terus sebagi rasa terima kasih atas pertolongan Tong. Mereka akan sembayang terus menerus dan mengharapkan Tong terus jaya. Inilah sifat religius yang pasti menguntungkan Tong di kemudian hari.

Mr. Wong sendiri yang sekarang berusia lebih dari lima puluh tahun sudah bisa hidup santai dan senang di Kowloon. Tak ada yang berani mengganggunya, karena semua orang tau ia adalah seorang tokoh Tong tempo doeloe dan sekarang hidup terhormat. Mr. Wong tak peduli apakah organisasi punya konotasi buruk atau baik. Baginya yang penting berbuat kebaikan untuk masyarakat dan ia tak peduli apa kata orang. Apakah tentang penyelundupan masih dilakukan? Mr. Wong menggelengkan kepala. Sekarang ini, menurut pengakuannya, tindak kriminal sejauh mungkin dicoba dihindari. Sekarang ini, dengan luasnya hubungan, bisnis yang sehat bisa dilakukan. Jadi, buat apa berbuat illegal.

Mr. Wong sendiri sekarang ini bergerak di bidang pelayaran internasional, Ia mempunyai duapuluh delapan kapal dengan tonase yang besar. Banyak pula yang berhubungan dengan orang-orang Indonesia. Tapi, sekali lagi ke arah Kalimantan. Pada akhir pembicaraan yang kami lakukan di rumah seorang yang bersahabat dengan Tong dan bertindak sebagai perantara pertemuan ini (sayang dia tak mau disebut namanya atau identitasnya) menyatakan bahwa orang tak perlu takut lagi terhadap organisasi semacam Tong.

Ketika Mr.Wong minta izin untuk ke “belakang” saya kemudian mendapat penjelasan dari tuan rumah bahwa ia sudah lama meninggalkan Samarinda. Sekarang hampir semua saudaranya yang tadinya asal Samarinda ada di sini. Bahkan, salah satu saudaranya merupakan orang yang terkemuka yang dulunya berasal dari organisasi Tong.

Sungguh tak terpikir oleh saya bahwa pimpinan Tong adalah orang asal  Indonesia. Bakan tuan rumah bilang, dulu juga ada pimpinan Tong yang orang Jawa. Benar-benar orang Jawa. Sekarang orang tersebut sudah balik ke Indonesia. Namanya yang dikenal adalah Junaedhi, anak Jawa yang diambil anak angkat juragan Cat di Kenjeran

Memang begitu berpengaruh orang-orang asal Indonesia di sana. Bahkan, flat yang saya tempati ternyata milik keluarga Wong (bukan Mr.Wong seperti yang dimaksud dalam tulisan sebelum ini), juga berasal dari Indonesia. Saya sengaja ingin menginap di flat, dan bukan di hotel, agar bisa lebih menghayati kehidupan mereka.

Untuk menginap di situ tarifnya 90 dolar Hongkong tiap malam. Kalo mau tambah makan harus tambah uang. Masakan Ny. Wong enak sekali. Di Hongkong, karena dekat pantai, masakan laut lebih dominan, yakni masakan laut gaya Cina, yang khas itu.

Tadinya saya dijanjikan akan mendapat satu kamar untuk saya sendiri. Tapi ternyata, ketika saya datang, kamar itu sudah ditempati orang lain. Saya tidak mau tarik urat leher. Saya menyerah saja ketika harus tinggal dengan orang lain di satu kamar.

Ketika itu, saya belum tahu siapa yang akan jadi teman sekamar saya. Agak was-was juga karena siapa tahu mendapat  teman yang kurang cocok. Tapi, sebagai wartawan ada juga untungnya. Dengan demikian teman baru, berarti akan mendapatkan tambahan informasi.

Ternyata calon teman itu seorang tua yang ketika saya masuk dia baru saja bangun tidur. Dia memperkenalkan diri bernama Ong, tetapi saya tidak terlalu memperdulikan, karena yang terpenting bagi saya adalah mendambakan istirahat. Perjalanan dari Surabaya yang sempat tertunda di Jakarta karena mesin pesawat rusak, cukup melelahkan.

Tapi, Pak Ong berusaha mengajak bicara. Dia bertanya saya dari mana dengan bahasa Inggris. Ketika saya jawab bahwa dari Surabaya, dia segera memberikan kartu nama. Ternyata dialah Pak Ong, orang Gembong Sayuran Surabaya yasng namanya sering saya dengar sebagai seorang tokoh fotografi.

Keesokkan harinya, masih ada satu orang lagi yang dimasukkan kekamar itu, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sebuah tempat tidur darurat dipasang di situ. Dan, tamu itu ternyata juga orang dari Kapasan Surabaya

Ong memulai karirnya dibidang fotografi pada 1942 ketika Jepang masuk. Saat terakhir ia menerima gaji 60 gulden bekerja di toko kain itu. Sangat besar, dan ia memang bisa mengembangkan hobinya. Jepang masuk, hobi itu tetap diteruskan. Merasa tak ada kemajuan di Surabaya, ia berkorespondensi dengan orang-orang Hongkong. Dari situ, dia memetik pengalaman bermanfaat, Kemudian dia ikut mendirikan Foto Fans di Surabaya. Tidak menjabat mengurus, karena ia orang asing. Ong memang tak ada keinginan untuk menjadi warga Negara Indonesia, meskipun lebih dari separuh usianya dilewatkan di Indonesia. “Saya sudah tua dan saya tak ada bisnis,” katanya. Sekarang Ong ikut aktif sebagai juri. Medali dan trofi kemenangan dari berbagai Negara didunia sudah diperoleh.

Sejak perkenalan itu kami berdua jadi akrab. Meskipin berpengalaman lama sebagai jurnalis, saya jarang sekali mempergunakan kamera. Saya belajar banyak dari Pak Ong tua ini, yang jalannya lebih cekatan dari saya yang terbilang jauh lebih muda jika dibandingkan dengan usianya.

Suami istri pemilik flat yang disewakan ini awalnya dari Jember. Suami istri Wong ini pada 1966 meninggalkan Indonesia, karena pendidikan untuk anak-anaknya terputus. Ia kemudian pergi ke RRC. Bertempat tinggal selama 14 tahun di sana. Keluarga Wong kemudian mengajukan surat permohonan keluar negeri pada tahun 1975. Baru dikabulkan 1980. Dengan bantuan modal dari saudara-saudaranya yang masih ada di Indonesia, ia membeli flat ini. Sekarang hidupnya tenang. Kamar yang saya tempati bersama Pak Ong diisi dengan dua ranjang susun. Kamar yang lain yang agak besar, tiga kali empat meter begitu, ada tiga ranjang susun. Semuanya penuh. Penghasilan yang cukup. Untuk Nyonya Wong meskipun tampaknya tak bekerja, tapi dia bisa memungut uang makan dari penghuni yang menyewa kamar di flatnya. Setiap makan 20 dolar Hongkong. Tapi yang seperti saya utarakan, makanannya enak sekali.

Hidup seperti keluarga Wong ini santai saja. Tampaknya dunia memang sudah tercipta buat mereka. Menikamati pemandangan Hongkong di malam hari yang penuh gemerlapnya lampu-lampu. Lantas lautan di muka flat dengan hilir mudiknya kapal besar dan kecil, tampaknya memang impian tiap orang. Hongkong betul-betul mempesona bagi mereka yang sudah tidak memikirkan lagi masalah tempat tinggal. Bagi mereka yang sudah bebas dibebani membayar sewa rumah, masalah hidup bisa menabung setiap hari. Siapa yang hemat pasti bisa kaya. Di sini berlaku pepatah: Hemat pangkal kaya. Ini benar-benar terjadi.

Bagi orang-orang seperti keluarga Wong, orang-orang sama-sama satu flat tak pernah memperlihatkan sikap politiknya tentang 1997. Semuanya pasrah. Tak ada ambisi sama sekali. Mereka masih punya pengalaman dengan RRC. Mereka baru saja berhasil keluar dari negeri raksasa tersebut seperti keluarga Wong lima tahunan paling lama. Lainnya memang ada yang lebih lama, tap, tidak seperti sahabat saya Goei yang akan saya ceritakan nanti, tak ada yang peduli tentang nasib negeri ini di kemudian hari.

Keluarga Wong yang fasih bahasa Indonesia, mengandalkan hidupnya memang dari turis-turis Indonesia. Dari mulut ke mulut orang membicarakan penginapan pribadi yang diusahakannya. Murah dan makanannya enak. Lebih-lebih terletak di pusat keramaian Kota Hongkong. Apalagi yang mau diharapkan oleh keluarga Wong ini. Selain pasrah menghadapi hari esok, sementara sekarang yang penting ialah menabung untuk hari esok.

Semangat kerja keras ini belum bisa kita miliki. Kita memang terlalu santai. Terutama jika dibandingkan dengan kehidupan di Hongkong. Yang dibilang shopping, lihat-lihat keramaian toko itu tak ada. Semua berbegas mencari tujuan. Habis itu pulang. Belum 100% terasakan bahwa waktu itu uang, di Hongkong. Tapi yang jelas, rata-rata mulai merasakan bahwa waktu itu sangat berharga. Hilir mudik orang jalan juga terasakan bahwa mereka berjalan cepat. Apakah karena cuaca yang dingin dan berangin, atau mereka memburu waktu, entahlah. Tapi yang jelas, berjalan kaki ini membuat orang Hongkong jadi sehat. Lahir batin mereka sehat.

Isu bahwa banyak copet di Hongkong sepengetahuan saya tak ada. Hongkong sekarang mungkin berbeda dengan tahun-tahun yang silam. Hongkong sekarang sudah memperlihatkan wajahnya yang asri dan penuh pesona untuk wisatawan. Yang mencolok adalah orang Jepang banyak berdatangan di Hongkong. Mengapa? Tentunya ada udang di balik batu. Bisnis memang terbuka buat mereka menggantikan modal domestik yang lari keluar sejak 1984.



Kiriman dari Hong Kong (4): Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong


JAWA POS, SELASA WAGE 18 NOVEMBER 1986

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (4)

Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong
Hongkong dengan gedung tertinggi di Asia

Apakah anda tidak ingin kembali ke Indonesia, tanya saya. Taipan Oei menggelengkan kepala. Juga ketika ditanya apakah ia tidak berniat membuka bank sebagai cabang di Surabaya atau kota besar lainnya di Indonesia. Dia cuma mengatakan bahwa sekarang ini di dunia sedang menghadapi kerja keras. Orang tidak bisa hidup makmur kalau cuma bekerja sekian jam saja sehari.  Anda mungkin sepuluh tahun lagi akan melihat wajah Hongkong yang lain. Sekarang masyarakat sedang berjuang untuk memiliki perumahan. Sepuluh tahun lagi masalah tersebut akan sudah teratasi. Dengan demikian nantinya mereka akan bisa menanta diri dengan sebaiknya. Dan Anda sudah tidak bekerja lagi sesudah jam  empat. Taipan Oei menyayangkan cara kerja negara berkembang yang agak santai. Menurut pendapatnya, kita harus bekerja lebih dari tujuh jam sehari. Saya sendiri bekerja hampir dua puluh jam sehari," kata Taipan terkemuka asal Pengampon ini.


Setiap ada persengketaan dengan pihak pemerintah kolonial, misalnya ada kenaikan sewa flat-flat di tempat pemukiman baru, selalu Taipan yang maju. Kadang bisa main telepon, kadang harus lobi, tapi kadang harus dihadapi dengan kekerasan, karena suara Taipan bukan suaranya sendiri melainkan suara seluruh warga yang dimiliki.

Tentang kenaikan sewa atau kontrak, pemerintah memang bisa salah tingkah. Taipan-taipan ini yang didukung oleh warga masyarakat setempat memang bisa punya kekuasaan yang besar sekali. Mereka bisa memboikot uang sewa atau uang kontrak, kemudian kalau perlu mereka bisa mendirikan perumahan sendiri yang baru karena dana ada pada mereka. Tetapi, Taipan jarang sekali mempergunakan cara-cara perundingan yang konfrontatif. Taipan sering cuma senyum saja menghadapi segala persoalanyang rumit. Ini menuntut kemahiran dalam hubungan kemasyarakatan dan ilmu manajeman tingkat tinggi. Dengan senyum, seorang Taipan bisa menerobos segala pintu yang semula tertutup rapat. 

Itulah bedanya antara Taipan dan Triad atau Tong. Asal usul timbulnya istilah Tong adalah ketika orang-orang Kanton mulai berdatangan ke Hongkong.

Jarang orang mengetahui bahwa kuatnya orang Cina bergerak di bidang bisnis, semula adalah justru karena organisasi ini, yang ketika itu masih belum punya konotasi negatif.Sebuah organisasi yang dulunya sebenarnya mempunyai asas kekeluargaan yang berasal dari budaya mereka di Kanton tempat asal orang yang kemudian disebut rakyat asli Hongkong.

Dulu, organisasi itu yang berkembang subur di daratan Cina maksudnya menolong sesama yang terkena musibah bencana alam.Atau yang sangat melarat, karena dirampok dan lain sebagainya. Keadaan masyarakat di Cina saat itu memang miskin dan taraf pendidikan mereka pun rendah. Situasi yang sedemikian itu mereka bawa ke Hongkong ketika mereka mulai memasuki Hongkong. Serba miskin dan serba tidak mampu dalam segala bidang.

Kepala-kepala Tong akhirnya bertindak. Mereka yang terkena musibah atau tak bisa mencari nafkah di Hongkong dipinjami uang tanpa bunga. Tapi tiap bulan mereka harus mengembalikan dalam jumlah tertentu. Perhitungan mereka, setahun atau dua tahun bisa lunas modal itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan demikian, mereka tidak terjerat oleh lintah darat. Dalam pengertiannya yang positif ini, tampaknya gerakan Tong ini bisa ditiru.

Di Indonesia dikenal juga yang namanya arisan Tong, arisan mati tanpa piao. Arisan ini sudah tidak terbatas hanya pada suku Hokjia saja, melainkan kepada siapa saja yang punya sifat suka menolong yang miskin. Bentuknya seperti yang di Hongkong itu. Makin banyak relasi seseorang, makin banyak orang yang mau ikut arisan. Itulah sebabnya, mengapa orang Tionghoa paling pegang nama. Mereka tidak suka menipu sesamanya dalam berdagang. Kalau mereka bangkrut, bukan karena menipu atau berspekulasi, tetapi karena huru hara, kebakaran dan lain-lain, maka selalu ada yang menolong mereka dengan arisan Tong itu.Tak perlu mereka yang meminta. Cukup diketahui saja bahwa ia rudin, maka semua orang akan membantu atas dasar prinsip itu.

Tong pada dasarnya demikian. Tapi di Hongkong, ternyata ia tak bisa berkembang sesuai dengan tradisi awalnya. Ternyata, begitu banyak orang miskin di Hongkong dan begitu banyak orang yang harus mereka bantu. Karenanya, kemudian mereka ’”terjerumus” dalam usaha yang kurang wajar.

Jadilah kemudian usaha penyelundupan di mana-mana dan Hong Kong kemudian dikenal sebagai pusat penyelundupan yang terbesar didunia setelah Singapura. Kegiatan yang negatif itu bahkan merusak nama Tong sendiri..Nama Tong bahkan diidentikkan dengan Triad, yang bergerak dalam perdagangan narkotika. Pada diri Tong lantas ada perasaan mengganjal terhadap Triad, terutama setalah Triad mengalihkan profesinya dari menjaga toko-toko ke bisnis narkotika, di mana masyarakat Hongkong sendiri terkena getahnya.

Dalih menyelamatkan warga Hongkong sebenarnya tak selamanya murni dalam perjuangan sindikat Tong tempo doeloe.Ada yang menyalahgunakan kekuasaan tersebut untuk kepentingan diri sendiri. Ini sebenarnya lumrah, tapi bagi sindikat seperti Tong itu berakibat fatal. Banyak terjadi pertempuran dan saling bunuh di antara mereka sendiri.

Kapan Tong bubar tak ada yang bisa mengetahui dengan pasti. Organisasi itu secara fisik mungkin memang tidak ada. Tapi secara spiritual ia masih tetap ada sampai sekarang. Sindikat Tong yang murni memang tak mungkin secara fisik dimatikan.

Kesan orang Inggris terhadap orang Cina memang berlainan sekali dengan Belanda terhadap orang Cina. Dalam masyarakat kolonial Belanda, orang Cina masih tetap diperhitungkan.


Tapi dalam stelsel pemerintahan di Hongkong itu, orang Inggris melihat Hongkong secara keseluruhan. Mereka tidak pernah melihat orang-orang Cina secara pribadi. Yang mereka ketahui hanyalah, berapa pajak yang mereka bayar untuk Sri Ratu. Itu saja. Tidak ada usaha memajukan mereka. Mereka harus berusaha maju sendiri. Meskipun sudah barang tentu universitas juga banyak didirikan.Tapi  pendidikan di sana sangat mahal. Keluarga yang berpenghasilan dua ribu dolar dan ini hampir sama dengan uang kita sebanyak empat ratus ribu Rupiah lebih, takkan mampu membiayai anaknya sekolah di perguruan tinggi. Mereka harus membanting tulang sampai jauh malam. Inipun dengan catatan bahwa soal rumah sudah bukan problem lagi bagi mereka. Jika masih ada problem rumah, artinya mereka masih harus membayar sewa atau kontrak rumah, tak mungkin mereka menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dalam hal ini, seringkali sindikat Tong masih memperlihatkan wajahnya yang manis dan bersahabat.

Keuangan Tong sekarang dari mana? Itulah memang sekarang pertanyaan yang paling mendasar yang dipertanyakan orang. Sebab secara fisik mereka sudah tidak terlihat lagi, tempo doeloe mereka memang mengesankan seram dan seperti pendekar-pendekar. Sekarang suasana itu tak ada lagi. Tapi setiap kesulitan, warga Hongkong yang lama masih teringat pada Tong.

Mr.Wong (nama ini nama samaran) yang alamatnya saya dapatkan dari seorang kawan merupakan orang yang paling tahu tentang Tong itu, meskipun ia terus-terusan tak tahu bagaimana situasi Tong itu sekarang.

Menurut Mr. Wong, Tong sudah mati. Seandainya masih adapun, tentu saya terlibat. Mr. Wong adalah tokoh yang sekarang membantu para pemilik perahu untuk menaikkan kesejahteraan hidup anggotanya. Banyak yang telah diperbuatnya, misalnya dengan motorisasi. Masyarakat kemudian beranggapan bahwa motorisasi itu merupakan upaya terakhir dari organisasi Tong. Padahal, menurut Mr. Wong yang berperawakan kurus, tak mencerminkan bekas tokoh organisasi Tong itu, semuanya itu merupakan kerja organisasi yang terurus rapi dan bekerja sama dengan bank-bank yang bersedia memberikan kredit dengan bunga yang lunak.

Sebenarnya menurut Mr. Wong yang harus dilihat dari skala kecil saja keadaan di Hongkong Ini. Masyarakat mau apa, itulah yang kita penuhi. Jangan sampai mereka lari ke arah tindak kriminal. Situasi sekarang sudah berlainan. Dulu sering kita beradu otot, sekarang polisi tinggal …door begitu saja. Mr. Wong mengacungkan telunjuknya seolah-olah menembak. Berbuat kejahatan tak ada artinya lagi sekarang. Sekarang kita harus pakai ini, seraya ia menunjuk dahinya.

Saya kemudian terkejut bahwa Mr. Wong ternyata orang Kalimantan. Ia kemudian menyatakan bahwa ia kenal baik kota Samarinda, Balikpapan, dan Banjarmasin. Menurut Mr. Wong juga di Indonesia ada organisasi semacam Tong itu. Beberapa waktu yang lalu masih tumbuh suburdi Hongkong, Indonesia termasuk juga jalur-jalir penyelundupan yang merupakan surga. Sekarang seperti di Hongkong sindikat Tong di Indonesia tidak berbentuk lagi dan mereka kembali ke bentuk asal, lebih ke arah yang baik. Artinya lebih bersifat kolektif menolong sesama yang kebetulan tertimpa mara bahaya atau terkena perkara.

Kiriman dari Hong Kong (3): Taipan Oei yang Dulu dari Pengampon


JAWA POS, SENIN PON 17 NOVEMBER 1986

Taipan Oei yang Dulu dari Pengampon

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (3)

Hong Kong di waktu malam
Tidak semua orang yang dari Indonesia seperti Encim Ma. Banyak juga yang lantas jauh lebih sukses. Misalnya Oei, yang kini justru mendapat panggilan Taipan Oei. Taipan adalah sebutan untuk seorang Big Boss yang baik. Banyak orang yang dapat predikat big-boss di Hongkong tapi tidak semua disebut Taipan. Seorang big-boss yang dikaitkan dengan usaha Triad atau Tong, tidak akan disebut Taipan. Triad atau tong adalah satu kelompok yang lebih diasosiasikan dengan sindikat. Sedang Taipan lebih bermakna sebagai godfather yang suka membantu.

Berita ini memang mengejutkan saya. Tak pernah berpikir dalam benak saya, bahwa taipan Hongkong yang sangat terkenal sekarang ini, asal-usulnya adalah anak Pengampon asli. Arek Suroboyoan yang masih bisa berbahasa Suroboyoan dengan enak.

Ketika saya hendak diperkenalkan dengan seorang Taipan yang menurut saya orang Suroboyo berasal dari daerah Pengampon itu ada rasa tak percaya pada diri sendiri. Mana mungkin seorang pemuda dari Pengampon bisa jadi Taipan di Hongkong. Negeri koloni yang begitu keras. Tapi, saya juga tidak bisa mengelak ketika Mr. Wong yang kemudian saya ketahui juga berasal dari Samarinda, orang asal Indonesia ternyata mempunyai pengaruh begitu besar di Hongkong. Seperti cerita khayal saja.

Pembicaraan dengan Taipan Oei berlangsung disebuah kamar direksi sebuah bank yang saya sebut saja X. Yang duduk “angker” di belakang meja besar itu adalah Taipan Oei yang asal pengampon tadi. Sederhana situasi kamarnya. Ada dua lukisan dinding. Tapi asing bagi saya. Mencerminkan pemandangan Hongkong di waktu malam, dilukis dengan gaya ekspresionis dan gambar seorang ibu secara naturalis.Cuma itu hiasan kamar itu dan Taipan Oei memang menunjukan sikap seorang Manajer yang pintar. Perawakannya memang tampak gemuk karena tinggi tubuhnya tak lebih dari170 cm. Tapi, tampaknya ia masih sehat betul di usianya yang baru empat puluh delapan tahun.

Ia memulai pembicaraan dengan bercerita tentang olah raga yang disebutnya Waitankung. Menurut pendapatnya antara Thai Chi Chuan dan Waitankung tak ada bedanya. Ia memang termasuk usia tua, juga karena gerak badan ini masih mengandung kekuatan yang paling mendasar dari dari gerakan kungfu Cina. Ia sendiri sebelumnya, ketika berada di Cina mempelajari ilmu silat Cina dengan sangat mendasar. Tapi tampilannya dia sebagai seorang Taipan tak ada hubungan dengan ilmu bela diri yang dimilikinya.

Kisah tentang Taipan Oei tak kalah menariknya dengan cerita-cerita film Mandarin. Menurut kisahnya, ia memang berada lama di daerah Pengampon, masuk gang. Orang taunya dulu berdagang di Pasar Turi, sebelum Pasar Turi kebakaran yang pertama. Ia sempat menamatkan sekolah Kaochung di Surabaya di Undaan Wetan.

Kejadian menurut taipan Oei tidak hanya berlangsung akibat PP 10 saja. Sebenarnya sejak 1956 sudah ada gerakan untuk kembali ke RRC sesuai imbauan penguasa di sana untuk membantu revolusi yang belum rampung. Saat itu beredar siaran dari Mao Tse Dong yang memanggil pulang mereka yang perantauan. Tak banyak yang bergerak untuk mengikuti anjuran itu. Tapi boleh dikata ada juga yang memenuhi harapan tersebut. Taipan Oei beranggapan, bahwa mereka yang tidak punya kepandaian sebenarnya jangan pulang. Mereka nanti akan kecewa. Karena ia ingin menyelesaikan sekolah tingkat SMA terlebih dahulu. Dan itu bersamaan dengan huekou tadi sekitar 1960.

Orang memang bisa kecewa, kata Taipan Oei mengenai RRC. Tapi itu tempo doeloe. Mestinya kita juga tau, mengangkut 600.000 sesuai janji RRC kepada Hoakiau di Indonesia adalah suatu proyek besar. Bangsa yang sudah mapan saja akan kesulitan.

Tetapi Taipan Oei beruntung. Ia termasuk gelombang ketiga yang segera diangkut. Sebelumnya, ia dikonsinyering di daerah Kranggan, meskipun ia orang Surabaya. Dari mana ia langsung ditempatkan di Peking karena ia fasih bahasa Inggris. Ia sebenarnya diberi kesempatan untuk melanjtkan sekolah. Tetapi saat itu kementerian luar negeri sedang memerlukan tenaga-tenaga baru untuk departemennya. Oei mendaftar dan ia diterima bekerja di sana. Sampai 1978 Oei bekerja disana dan ia sudah memperoleh kedudukan yang lumayan di kementerian luar negeri.

Kemudian sekitar 1975-an ia mulai mengajukan surat untuk meninggalkan RRC dan bekerja di tempat lain. Maksud tujuannya adalah Hongkong. Tiga tahun ia mengurus izin tersebut dan akhirnya baru 1978 baru diberikan.

Dalam kedudukannya di staff  kementerian luar negeri itulah ia kemudian tahu bagaimana cara menjadi warga negara Inggris. Bisa membuat orang lain iri memang. Tapi, itulah nasib Oei yang nampaknya seperti sebuah takdir yang mulus. Bahkan, dengan pengetahuannya itu dia membantu beberapa orang lain untuk mendapatkan keperluan yang sama.

Tentang bagaimana ia kemudian bisa mengelola sebuah bank yang kini sedang berkembang pesat? Ia menyatakan bahwa 1978 itu, ia sedang mencari kerja sebagai penerjemah, dia menjumpai kenalannya dahulu di RRC yang pernah ditolongnya dalam mengurus surat-suratnya. Teman ini mengajaknya kerja sama, di bidang perbankan. Oei disadarkan betul bahwa bisnis bank mempunyai prospek yang bagus di Hongkong bahkan di mana saja. Oei tertarik dan begitulah kemudian mereka mendirikan sebuah bisnis bank yang sekarang perkembangannya selain di Hongkong City, juga ada di Kowloon, Singapura, dan Jepang. Oei yang kemudian oleh masyarakat Hongkong dianggap sebagai Taipan duduk sebagai manajer pertama. Pemilik modalnya sendiri menjadi komisaris utama perbankan itu. Begitulah asal mula Oei mendapat jabatan yang tertinggi sebagai direktur sebuah bank yang sedang berkembang pesat.

Ketika ditanya apakah arti taipan itu, Oei memberikan jawaban bahwa pengertian tentan Taipan itu sendiri tak bisa diberikan secara tegas. Semacam god father dalam pengertian yang utuh dan tradisional. Urusan tentang Taipan sebenarnya urusan yang legal sama sekali. Tidak ada unsur kriminalnya. Tapi seorang Taipan harus punya koneksi kanan kiri. Artinya dengan pengusaha harus dekat, sedemikian dekatnya sehingga ia bisa menelpon saja jika ada keperluan dan di samping itu dia harus dekat dengan masyarakat Cina sekitarnya.

Menurut Taipan Oei, yang disebut dengan Taipan Hongkong itu semacam locia di zaman Belanda dulu, pimpinan orang Tionghoa. Bukan dipilih Belanda yang kemudian diberi gelar mayor der chineschen, letnan dan sebagainya. Melainkan yang dipilih oleh masyarakat setempat. Kekuasannya luas sekali, ini tanpa satu undang-undang. Buat orang Hongkong, siapa yang disebut Taipan itu sudah pada posisi yang top dalam masyarakat.

Kiriman dari Hong Kong (2): Encim Ma Merasa di mana pun sama saja


JAWA POS, MINGGU PAHING 15 NOVEMBER 1986
 
Encim Ma Merasa di mana pun sama saja


Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (2)

Wajah Hong Kong lama
DI RRC, Encim Ma dan mereka yang baru kembali dari Indonesia, bekerja delapan jam sehari “Sebenarnya, lebih ringan daripada membuka toko merancang di Desa Maron Probolinggo dulu,” kata Encim Ma sambil menatap atap rumah flatnya di Hongkong yang tak begitu tinggi.

Ruangan tempat tinggalnya saat ini, diperoleh Encim Ma dengan cara menyewa dari perusahaan swasta. Boleh dikatakan, untuk ukuran Indonesia termasuk kelompok yang miskin.Ruangan itu bercampur aduk. Tidak ada pembagian yang teratur. Ruangan tengah cuma berukuran 3x4 meter. Sedangkan kamar tidurnya nyaris 2x2 meter. Dapurnya sempit, demikian juga WC dan kamar mandi. Itulah perumahan dalam flat. Encim Ma kebetulan memperoleh flat yang dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah. Tapi, semuanya juga terletak di New Teritories, sebuah daerah pemukiman yang jaraknya kurang lebih setengah jam naik taksi dari Kowloon. Dari luar, pemukiman itu tampak asri. Tapi di dalamnya, semua bercampur aduk. Rumah Encim Ma sendiri sebenarnya masih tampak teratur, karena keluarganya sedikit. Encim Ma cuma tinggal dengan seorang anak perempuannya yang tidak kawin meskipun sudah berusia empat puluh tahun lebih. Anaknya yang laki-laki sudah kawin dan tinggal di bagian lain dari apartemen itu. Kedua anak ini lahir di Probolinggo.

Orang-orang seperti Encim Ma masih sulit kedudukannya. Mereka berpenghasilan sebulan rata-rata dua ribu dollar Hongkong. Ini tak cukup longgar untuk menyewa flat yang mereka diami dan untuk hidup. Encim Ma tak mau berterus terang, berapa mereka menyewa rumah flat ini. Ia menyatakan bahwa anaknya yang perempuan yang bekerja pada sebuah pabrik konveksi terpaksa harus bekerja sampai larut malam. Dia harus lembur guna mendapatkan hasil yang lebih baik.

Tampaknya ini yang mendorong mengapa orang Hongkong menjadi keras dan takut padaorang asing. Seolah mereka sangat takut jika orang asing nantinya ingin ikut tinggal di flatnya.

Menurut Encim Ma, rata-rata orang Hongkong pendatang seperti dia, yang belum punya kartu warga Negara Inggris, hidupnya miskin atau pas pasan, meskipun tidak terlihat dari pakaian mereka. Pakaian konveksi memang murah di Hongkong, sehingga pakaian mereka tetap kelihatan baik.

Menurut Encim Ma, ketika ia pertama kali datang ke Hongkong, keadaanya tidak sebersih sekarang. Negeri koloni termasuk negeri yang sangat miskin.”Betul-betul miskin,” kata Encim Ma, yang masuk ke Hongkong tahun 1973.

Sekitar tahun 1970-an, sebanyak tiga juta orang masuk Hongkong dari berbagai penjuru dunia. Kebanyakan, dari RRC. Masuknya banyak pendatang itu sudah barang tentu merupakan masalah bagi pemerintah koloni Inggris. Mereka tidak bisa diusir begitu saja. Karenanya, timbul pemikiran bahwa kehadiran mereka akan dimanfaatkan untuk membangun negeri itu.

Pendatang baru, keadaan pendidikannya memang jauh lebih maju daripada penduduk yang sudah menetap di Hongkong. Mereka inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menerjuni administrasi pemerintah sebagai pegawai negeri. Sebab, mereka kebanyakan bisa berbahasa Inggris.

Yang menarik keuntungan dari kebijakan ini adalah Hoakiau yang dari Indonesia. Mereka, boleh dikatakan sudah pernah sekolah di Indonesia sampai tingkat Kaochung. Yakni, sekolah yang sederajat dengan SMA.Yang soal bahasa asing waktu itu masih diutamakan. Maka, akhirnya, menurut Encim Ha, posisi orang-orang yang berasal dari Indonesia tinggi. Sebab, baik penduduk Cina yang sudah lama tinggal di Hongkong maupun yang datang dari daratan Tiongkok, sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Inilah keuntungan Hoakiau yang berasal dari Indonesia.Ini mungkin juga rejeki yang diberikan Tuhan kepada mereka.

Untuk kesekian kalinya pula, Tuhan menakdirkan orang Cina sebagai kelompok menengah yang menjadi perantara antara pemerintah kolonial yang berkuasa dengan rakyat jajahan yang diperintah. Demikian juga dulu, di Indonesia ketika Belanda berkuasa. Orang Cina jadi kelas menengah.

Tapi, untuk keluar dari RRC waktu itu tidak semudah diduga orang. Sebelum tahun 1966, memang sering ada pelarian. Tapi, karena waktu itu pemerintah RRC menjalankan politik yang keras dan menghukum mereka yang tertangkap, maka tak banyak yang melarikan diri lagi.

Mereka kemudian mengajukan surat .Terang-terangan mereka meminta ijin untuk mencari rejeki di luar, Tapi Pemerintah Cina tidak memberikan kelonggaran. Mungkin, mereka malu pada dunia luar jika banyak anak negerinya yang minta izin mengadu untung di negeri orang lain.

Tapi, tahun 1966, di RRC juga mulai ada perubahan. Orang-orang Hoakiau yang berasal dari Indonesia mulai diberi kelonggaran untuk keluar dari RRC, ke mana saja mereka suka. Dari kira-kira 150.000 orang Tionghoa asal Indonesia yang sempat Huekuo ke RRC, lebih dari 80% kemudian keluar lagi dari negeri itu secara legal.

Izin itu bisa diberikan paling cepat tiga bulan.Tapi, bisa juga sampai bertahun-tahun. Encim Ma sendiri tak tahu, kapan suaminya mengajukan permintaan untuk meninggalkan RRC. Yang jelas, dia tahu bahwa suaminya memperoleh izin pada tahun1973. Mulai saat itulah mereka menetap di Hongkong sampai sekarang. Tahun 1978, setelah lima tahun di Hongkong, suami Encim Ma sakit lantas meninggal dunia.

Sampai sekarang, meskipun sudah tiga belas tahun menetap di koloni Inggris itu, Encim Ma cuma punya sebuah kartu yang disebut CI yakni Certificate of Identity.

Demikin juga, orang-orang seperti Encim Ma. Mereka sudah mengajukan izin unuk bisa menjadi warganegara Inggris, tapi sampai sekarang belum terpenuhi..

“Di sini, juga ada perbedaan,” kata Encim Ma. Yang kaya, meski baru datang, bisa saja sudah jadi warga Negara Inggris.

“Adakah perbedaan antara pemegang kartu CI dengan paspor Inggris?”“Oh, banyak,” kata Encim Ma. Yang punya paspor Inggris, dengan gampang bisa keluar negeri. Tapi, yang cuma memegang CI, sama sekali tidak bisa.”

“Masih punya sanak famili di Indonesia?” tanya saya. Encim Ma menatap wajah saya seraya menyuruh saya minum teh suguhannya yang sudah dari tadi dihidangkan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal hatinya. ”Waktu kami di RRC,” demikian ujarnya, ”Masih ada keluarga yang sering menyurati. Tapi, waktu itu surat menyurat tak segampang sekarang. Saya pun jarang sekali memberikan jawaban. Untuk membeli perangko, bagi kami sangat berat. Tapi sekarang, setelah saya tinggal di Hongkong, kami  tak pernah mendengar kabar. Mungkin mereka sudah pindah tempat,” katanya dengan penuh haru.

“Masih ingin ke Indonesia?” tanya saya. Encim Ma menggelengkan kepala. Lalu, berkata perlahan, “Tidak.”

“Mengapa?”

“Di sini sama saja. Sebenarnya, di mana saja kami hidup, sama saja…”

Dia juga punya pengalaman bagaimana akhir hidupnya di Probolinggo. Ia juga sudah mengalami sendiri kehidupan di RRC, yang dicurigai penduduk setempat. Juga di Hongkong ini, Encim melihat sendiri, betapa ia yang meminta kewarganegaraan Inggris tidak pernah diberi dan hanya diberi CI saja. Sekarang, ia sudah berpengalaman bahwa hidup ini harus menerima. Kita tidak boleh berontak. Perlakuan sebagai pendatang yang diterimanya, dia terima sebagai hal yang wajar.

Menceritakan pengalaman masa lalu, Encim Ma kemudian menyatakan bahwa itu semua adalah merupakan takdir. Penduduk lama boleh dengan gampang mendapat tempat tinggal di perumahan yang didirikan pemerintah. Sedang mereka yang berasal dari RRC, sudah boleh berterima kasih bahwa ada pihak swasta yang mau bergerak di bidang real estate, mesti otomatis harganya menjadi mahal.

Ketika saya tanyakan, bagaimana pendapatnya tentang bakal dikembalikannya Hongkong kepada RRC di tahun 1997, Encim Ma tampaknya tidak begitu bersemangat untuk menjawab. ”Saya sudah tua,” katanya. “Sepuluh tahun lagi mungkin saya sudah meninggal dunia, Jadi, buat apalah kami terlampau memikirkan hari esok yang masih panjang. Apalagi, kami tidak punya apa-apa,” tambahnya.

Apa yang diutarakan oleh Encim Ma ini memang menjadi jabawan rata-rata orang Hongkong yang tidak kaya, yang mencari hidup sebagai orang upahan. Mereka tampaknya pasrah saja. Tidak  ada perasaan takut jika negeri koloni ini nantinya dikembalikan kepada RRC, sebab mereka tadinya juga berasal dari sana. Jadi, apa bedanya.

Ia bahkan lebih senang berbincang tentang masa lampaunya di Indonesia daripada tentang masa depan Hongkong. Mungkin, semacam nostalgia, karena dia sendiri merasa orang Indonesia,.

Tapi, akhirnya Encim Ma secara tak sadar menyatakan bahwa keadaan di RRC sekarang dan dulu sangat berlainan. “ Mengapa Encim dulu ingin keluar dari RRC?” tanya saya.

Di luar dugaan Encim tersenyum.

“Itu dulu suami saya yang mengurus. Hidup d RRC, sebenarnya sudah bisa hidup.Cuma, hidup komune itu yang sebenarnya bertentangan dengan filsafat hidup orang Cina. Di komune, semuanya milik bersama. Padahal orang Cina suka menabung sen demi sen demi milik pribadi”.

“Di Hongkong ini, meski bekerja lebih keras darpada di RRC, kalo ada kelebihan uang kita bisa menyimpan. Akhir tahun, kalau ada tambahan tabungan kita bisa beli seterika listrik. Tampaknya, kita tak mungkin kuat bekerja seperti mereka yang di Hongkong, kerja dari pagi sampai larut malam. Memang ada waktu terluang untuk istirahat, tapi semuanya harus dikerjakan secara tertib. Tidak ada kerja dengan santai di sana. Semuanya berjalan dengan cepat…”

Tapi, sikap masa bodoh terhadap situasi politik itu hanyalah dimiliki oleh mereka yang kerja upahan. Mereka yang kaya dan punya pengaruh, tetapi memperhitungkan situasi politik yang sedang dan terutama akan berlaku.

Kedatangan Ratu Elizabeth ke Daratan Cina misalnya, menjadi pembicaraan yang menarik di Hongkong. Meskipun saya hadir sesudah setengah bulan lewat dari kunjungan istimewanya, terutama di lapisan menengah yang mempunyai modal serba tanggung. Yang punya modal besar, sudah bisa cepat menentukan sikap.

Dalam tulisan berikutnya, akan saya ceritakan bagaimana taipan-taipan Hongkong sangat jeli terhadap situasi ekonomi di berbagai negara di dunia. Di antaranya, juga terhadap Indonesia.

Taipan di Hongkong berlainan sama sekali dengan mafia dari Italia atau Amerika. Mafia seperti itu di Hongkong dulu namnya Triad. Tapi sekarang boleh dikatakan, rakyat Hongkong tidak suka lagi pada Triad yang bererak di bidang penyeludupan narkotik. Juga ada organisasi yang namanya Tong, yang dulu banyak menguasai kawasan Hongkong. Sekarang, semuanya tak ada lagi, kecuali taipan-taipan itu, yakni boss yang baik hati. Orang kaya di sana tapi yang tetap memikirkan sesamanya. Itulah yang di sana disebut taipan. Menarik memang untuk ditelusuri.