JAWA POS RABU KLIWON 19 NOVEMBER 1986
Ramalan Mr.
Wong setelah 1997
Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (5)
Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (5)
![]() |
Perahu yang hilir mudik jadi pemandangan tersendiri. |
Mr. Wong sendiri tokoh penting
organisasi Tong yang mengaku orang Kalimantan ini tampaknya berasal dari
Samarinda. Ketika saya tayakan apakah asli Samarinda, Mr. Wong tak mau
bicara.Tapi kesan saya sudah pas. Ia banyak berbicara tentang Kalimantan, tapi
menjurus ke Kota Samarinda.
Organisasi semacam Tong mungkin
saja akan tumbuh kembali setelah 1997. Menurut pendapat Mr. Tong, jika Hongkong
masuk kembali ke wilyah RRC, maka situasinya akan berlainan. RRC memang tak
mungkin membuat Hongkong seperti RRC. Tapi jelas RRC tak ingin negeri ini lebih
maju dari tanah seberang (maksudnya RRC). Menurut pendapat Mr. Wong, RRC nanti
akan menurunkan kemakmuran penduduk di Hongkong dengan macam-macam cara.
Ketika saya kemukakan alasan
lain yang bertolak belakang dengan pendapatnya, yakni bahwa justru RRC akan
membuat makmur negeri ini agar bisa jadi cermin tentang RRC yang berada
disebrangnya, ia Cuma tertawa“ Someday Tong must be great again,” katanya dengan
dialek kanton Inggris.
Organisasi Tong tampaknya
memang akan tetap hidup. Terutama sekali sampai sekarang, menurut Mr. Wong,
siapapun yang pernah ditolong organisasi Tong dalam batinnya ada kaitan
tersendiri dengan organisasin yang sudah tidak ada lagi ujudnya fisiknya itu.
Dan menurut Mr. Wong, masyarakat Cina yang religius akan berdoa terus sebagi
rasa terima kasih atas pertolongan Tong. Mereka akan sembayang terus menerus
dan mengharapkan Tong terus jaya. Inilah sifat religius yang pasti menguntungkan
Tong di kemudian hari.
Mr. Wong sendiri yang
sekarang berusia lebih dari lima puluh tahun sudah bisa hidup santai dan senang
di Kowloon. Tak ada yang berani mengganggunya, karena semua orang tau ia adalah
seorang tokoh Tong tempo doeloe dan sekarang hidup terhormat. Mr. Wong tak
peduli apakah organisasi punya konotasi buruk atau baik. Baginya yang penting
berbuat kebaikan untuk masyarakat dan ia tak peduli apa kata orang. Apakah
tentang penyelundupan masih dilakukan? Mr. Wong menggelengkan kepala. Sekarang
ini, menurut pengakuannya, tindak kriminal sejauh mungkin dicoba dihindari. Sekarang
ini, dengan luasnya hubungan, bisnis yang sehat bisa dilakukan. Jadi, buat apa
berbuat illegal.
Mr. Wong sendiri sekarang
ini bergerak di bidang pelayaran internasional, Ia mempunyai duapuluh delapan
kapal dengan tonase yang besar. Banyak pula yang berhubungan dengan orang-orang
Indonesia. Tapi, sekali lagi ke arah Kalimantan. Pada akhir pembicaraan yang
kami lakukan di rumah seorang yang bersahabat dengan Tong dan bertindak sebagai
perantara pertemuan ini (sayang dia tak mau disebut namanya atau identitasnya)
menyatakan bahwa orang tak perlu takut lagi terhadap organisasi semacam Tong.
Ketika Mr.Wong minta izin
untuk ke “belakang” saya kemudian mendapat penjelasan dari tuan rumah bahwa ia
sudah lama meninggalkan Samarinda. Sekarang hampir semua saudaranya yang tadinya
asal Samarinda ada di sini. Bahkan, salah satu saudaranya merupakan orang yang
terkemuka yang dulunya berasal dari organisasi Tong.
Sungguh tak terpikir oleh
saya bahwa pimpinan Tong adalah orang asal
Indonesia. Bakan tuan rumah bilang, dulu juga ada pimpinan Tong yang
orang Jawa. Benar-benar orang Jawa. Sekarang orang tersebut sudah balik ke
Indonesia. Namanya yang dikenal adalah Junaedhi, anak Jawa yang diambil anak
angkat juragan Cat di Kenjeran
Memang begitu berpengaruh
orang-orang asal Indonesia di sana. Bahkan, flat yang saya tempati ternyata
milik keluarga Wong (bukan Mr.Wong seperti yang dimaksud dalam tulisan sebelum
ini), juga berasal dari Indonesia. Saya sengaja ingin menginap di flat, dan
bukan di hotel, agar bisa lebih menghayati kehidupan mereka.
Untuk menginap di situ
tarifnya 90 dolar Hongkong tiap malam. Kalo mau tambah makan harus tambah uang.
Masakan Ny. Wong enak sekali. Di Hongkong, karena dekat pantai, masakan laut
lebih dominan, yakni masakan laut gaya Cina, yang khas itu.
Tadinya saya dijanjikan
akan mendapat satu kamar untuk saya sendiri. Tapi ternyata, ketika saya datang,
kamar itu sudah ditempati orang lain. Saya tidak mau tarik urat leher. Saya
menyerah saja ketika harus tinggal dengan orang lain di satu kamar.
Ketika itu, saya belum
tahu siapa yang akan jadi teman sekamar saya. Agak was-was juga karena siapa tahu
mendapat teman yang kurang cocok. Tapi,
sebagai wartawan ada juga untungnya. Dengan demikian teman baru, berarti akan
mendapatkan tambahan informasi.
Ternyata calon teman itu
seorang tua yang ketika saya masuk dia baru saja bangun tidur. Dia
memperkenalkan diri bernama Ong, tetapi saya tidak terlalu memperdulikan,
karena yang terpenting bagi saya adalah mendambakan istirahat. Perjalanan dari
Surabaya yang sempat tertunda di Jakarta karena mesin pesawat rusak, cukup
melelahkan.
Tapi, Pak Ong berusaha
mengajak bicara. Dia bertanya saya dari mana dengan bahasa Inggris. Ketika saya
jawab bahwa dari Surabaya, dia segera memberikan kartu nama. Ternyata dialah
Pak Ong, orang Gembong Sayuran Surabaya yasng namanya sering saya dengar
sebagai seorang tokoh fotografi.
Keesokkan harinya, masih
ada satu orang lagi yang dimasukkan kekamar itu, dan kami tidak bisa berbuat
apa-apa. Sebuah tempat tidur darurat dipasang di situ. Dan, tamu itu ternyata
juga orang dari Kapasan Surabaya
Ong memulai karirnya
dibidang fotografi pada 1942 ketika Jepang masuk. Saat terakhir ia menerima
gaji 60 gulden bekerja di toko kain itu. Sangat besar, dan ia memang bisa
mengembangkan hobinya. Jepang masuk, hobi itu tetap diteruskan. Merasa tak ada
kemajuan di Surabaya, ia berkorespondensi dengan orang-orang Hongkong. Dari
situ, dia memetik pengalaman bermanfaat, Kemudian dia ikut mendirikan Foto Fans
di Surabaya. Tidak menjabat mengurus, karena ia orang asing. Ong memang tak ada
keinginan untuk menjadi warga Negara Indonesia, meskipun lebih dari separuh
usianya dilewatkan di Indonesia. “Saya sudah tua dan saya tak ada bisnis,”
katanya. Sekarang Ong ikut aktif sebagai juri. Medali dan trofi kemenangan dari
berbagai Negara didunia sudah diperoleh.
Sejak perkenalan itu kami
berdua jadi akrab. Meskipin berpengalaman lama sebagai jurnalis, saya jarang
sekali mempergunakan kamera. Saya belajar banyak dari Pak Ong tua ini, yang
jalannya lebih cekatan dari saya yang terbilang jauh lebih muda jika
dibandingkan dengan usianya.
Suami istri pemilik flat yang
disewakan ini awalnya dari Jember. Suami istri Wong ini pada 1966 meninggalkan
Indonesia, karena pendidikan untuk anak-anaknya terputus. Ia kemudian pergi ke
RRC. Bertempat tinggal selama 14 tahun di sana. Keluarga Wong kemudian
mengajukan surat permohonan keluar negeri pada tahun 1975. Baru dikabulkan
1980. Dengan bantuan modal dari saudara-saudaranya yang masih ada di Indonesia,
ia membeli flat ini. Sekarang hidupnya tenang. Kamar yang saya tempati bersama
Pak Ong diisi dengan dua ranjang susun. Kamar yang lain yang agak besar, tiga
kali empat meter begitu, ada tiga ranjang susun. Semuanya penuh. Penghasilan
yang cukup. Untuk Nyonya Wong meskipun tampaknya tak bekerja, tapi dia bisa
memungut uang makan dari penghuni yang menyewa kamar di flatnya. Setiap makan
20 dolar Hongkong. Tapi yang seperti saya utarakan, makanannya enak sekali.
Hidup seperti keluarga
Wong ini santai saja. Tampaknya dunia memang sudah tercipta buat mereka. Menikamati
pemandangan Hongkong di malam hari yang penuh gemerlapnya lampu-lampu. Lantas lautan
di muka flat dengan hilir mudiknya kapal besar dan kecil, tampaknya memang
impian tiap orang. Hongkong betul-betul mempesona bagi mereka yang sudah tidak
memikirkan lagi masalah tempat tinggal. Bagi mereka yang sudah bebas dibebani
membayar sewa rumah, masalah hidup bisa menabung setiap hari. Siapa yang hemat
pasti bisa kaya. Di sini berlaku pepatah: Hemat pangkal kaya. Ini benar-benar
terjadi.
Bagi orang-orang seperti
keluarga Wong, orang-orang sama-sama satu flat tak pernah memperlihatkan sikap politiknya
tentang 1997. Semuanya pasrah. Tak ada ambisi sama sekali. Mereka masih punya
pengalaman dengan RRC. Mereka baru saja berhasil keluar dari negeri raksasa
tersebut seperti keluarga Wong lima tahunan paling lama. Lainnya memang ada
yang lebih lama, tap, tidak seperti sahabat saya Goei yang akan saya ceritakan
nanti, tak ada yang peduli tentang nasib negeri ini di kemudian hari.
Keluarga Wong yang fasih
bahasa Indonesia, mengandalkan hidupnya memang dari turis-turis Indonesia. Dari
mulut ke mulut orang membicarakan penginapan pribadi yang diusahakannya. Murah
dan makanannya enak. Lebih-lebih terletak di pusat keramaian Kota Hongkong. Apalagi
yang mau diharapkan oleh keluarga Wong ini. Selain pasrah menghadapi hari esok,
sementara sekarang yang penting ialah menabung untuk hari esok.
Semangat kerja keras ini
belum bisa kita miliki. Kita memang terlalu santai. Terutama jika dibandingkan
dengan kehidupan di Hongkong. Yang dibilang shopping, lihat-lihat keramaian toko
itu tak ada. Semua berbegas mencari tujuan. Habis itu pulang. Belum 100%
terasakan bahwa waktu itu uang, di Hongkong. Tapi yang jelas, rata-rata mulai
merasakan bahwa waktu itu sangat berharga. Hilir mudik orang jalan juga
terasakan bahwa mereka berjalan cepat. Apakah karena cuaca yang dingin dan
berangin, atau mereka memburu waktu, entahlah. Tapi yang jelas, berjalan kaki
ini membuat orang Hongkong jadi sehat. Lahir batin mereka sehat.
Isu bahwa banyak copet di
Hongkong sepengetahuan saya tak ada. Hongkong sekarang mungkin berbeda dengan
tahun-tahun yang silam. Hongkong sekarang sudah memperlihatkan wajahnya yang
asri dan penuh pesona untuk wisatawan. Yang mencolok adalah orang Jepang banyak
berdatangan di Hongkong. Mengapa? Tentunya ada udang di balik batu. Bisnis
memang terbuka buat mereka menggantikan modal domestik yang lari keluar sejak
1984.
(Bersambung)
Kiriman dari Hongkong
(1) Bertemu Encim Ma di Hongkong
(2) Encim Ma Merasa di mana pun sama saja
(3) Taipan Oei yang Dulu dari Pengampon
(4) Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong
(5) Ramalan Mr. Wong setelah 1997
(6) Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit
(7) Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa.
Kiriman dari Hongkong
(1) Bertemu Encim Ma di Hongkong
(2) Encim Ma Merasa di mana pun sama saja
(3) Taipan Oei yang Dulu dari Pengampon
(4) Taipan Oei dan Apa Itu Organisasi Tong
(5) Ramalan Mr. Wong setelah 1997
(6) Hongsui dan Seorang Suhu di Gang Sempit
(7) Hongkong yang Kini Diartikan sebagai Kuburan Raksasa.