Kiriman dari Hong Kong (2): Encim Ma Merasa di mana pun sama saja


JAWA POS, MINGGU PAHING 15 NOVEMBER 1986
 
Encim Ma Merasa di mana pun sama saja


Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (2)

Wajah Hong Kong lama
DI RRC, Encim Ma dan mereka yang baru kembali dari Indonesia, bekerja delapan jam sehari “Sebenarnya, lebih ringan daripada membuka toko merancang di Desa Maron Probolinggo dulu,” kata Encim Ma sambil menatap atap rumah flatnya di Hongkong yang tak begitu tinggi.

Ruangan tempat tinggalnya saat ini, diperoleh Encim Ma dengan cara menyewa dari perusahaan swasta. Boleh dikatakan, untuk ukuran Indonesia termasuk kelompok yang miskin.Ruangan itu bercampur aduk. Tidak ada pembagian yang teratur. Ruangan tengah cuma berukuran 3x4 meter. Sedangkan kamar tidurnya nyaris 2x2 meter. Dapurnya sempit, demikian juga WC dan kamar mandi. Itulah perumahan dalam flat. Encim Ma kebetulan memperoleh flat yang dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah. Tapi, semuanya juga terletak di New Teritories, sebuah daerah pemukiman yang jaraknya kurang lebih setengah jam naik taksi dari Kowloon. Dari luar, pemukiman itu tampak asri. Tapi di dalamnya, semua bercampur aduk. Rumah Encim Ma sendiri sebenarnya masih tampak teratur, karena keluarganya sedikit. Encim Ma cuma tinggal dengan seorang anak perempuannya yang tidak kawin meskipun sudah berusia empat puluh tahun lebih. Anaknya yang laki-laki sudah kawin dan tinggal di bagian lain dari apartemen itu. Kedua anak ini lahir di Probolinggo.

Orang-orang seperti Encim Ma masih sulit kedudukannya. Mereka berpenghasilan sebulan rata-rata dua ribu dollar Hongkong. Ini tak cukup longgar untuk menyewa flat yang mereka diami dan untuk hidup. Encim Ma tak mau berterus terang, berapa mereka menyewa rumah flat ini. Ia menyatakan bahwa anaknya yang perempuan yang bekerja pada sebuah pabrik konveksi terpaksa harus bekerja sampai larut malam. Dia harus lembur guna mendapatkan hasil yang lebih baik.

Tampaknya ini yang mendorong mengapa orang Hongkong menjadi keras dan takut padaorang asing. Seolah mereka sangat takut jika orang asing nantinya ingin ikut tinggal di flatnya.

Menurut Encim Ma, rata-rata orang Hongkong pendatang seperti dia, yang belum punya kartu warga Negara Inggris, hidupnya miskin atau pas pasan, meskipun tidak terlihat dari pakaian mereka. Pakaian konveksi memang murah di Hongkong, sehingga pakaian mereka tetap kelihatan baik.

Menurut Encim Ma, ketika ia pertama kali datang ke Hongkong, keadaanya tidak sebersih sekarang. Negeri koloni termasuk negeri yang sangat miskin.”Betul-betul miskin,” kata Encim Ma, yang masuk ke Hongkong tahun 1973.

Sekitar tahun 1970-an, sebanyak tiga juta orang masuk Hongkong dari berbagai penjuru dunia. Kebanyakan, dari RRC. Masuknya banyak pendatang itu sudah barang tentu merupakan masalah bagi pemerintah koloni Inggris. Mereka tidak bisa diusir begitu saja. Karenanya, timbul pemikiran bahwa kehadiran mereka akan dimanfaatkan untuk membangun negeri itu.

Pendatang baru, keadaan pendidikannya memang jauh lebih maju daripada penduduk yang sudah menetap di Hongkong. Mereka inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menerjuni administrasi pemerintah sebagai pegawai negeri. Sebab, mereka kebanyakan bisa berbahasa Inggris.

Yang menarik keuntungan dari kebijakan ini adalah Hoakiau yang dari Indonesia. Mereka, boleh dikatakan sudah pernah sekolah di Indonesia sampai tingkat Kaochung. Yakni, sekolah yang sederajat dengan SMA.Yang soal bahasa asing waktu itu masih diutamakan. Maka, akhirnya, menurut Encim Ha, posisi orang-orang yang berasal dari Indonesia tinggi. Sebab, baik penduduk Cina yang sudah lama tinggal di Hongkong maupun yang datang dari daratan Tiongkok, sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Inilah keuntungan Hoakiau yang berasal dari Indonesia.Ini mungkin juga rejeki yang diberikan Tuhan kepada mereka.

Untuk kesekian kalinya pula, Tuhan menakdirkan orang Cina sebagai kelompok menengah yang menjadi perantara antara pemerintah kolonial yang berkuasa dengan rakyat jajahan yang diperintah. Demikian juga dulu, di Indonesia ketika Belanda berkuasa. Orang Cina jadi kelas menengah.

Tapi, untuk keluar dari RRC waktu itu tidak semudah diduga orang. Sebelum tahun 1966, memang sering ada pelarian. Tapi, karena waktu itu pemerintah RRC menjalankan politik yang keras dan menghukum mereka yang tertangkap, maka tak banyak yang melarikan diri lagi.

Mereka kemudian mengajukan surat .Terang-terangan mereka meminta ijin untuk mencari rejeki di luar, Tapi Pemerintah Cina tidak memberikan kelonggaran. Mungkin, mereka malu pada dunia luar jika banyak anak negerinya yang minta izin mengadu untung di negeri orang lain.

Tapi, tahun 1966, di RRC juga mulai ada perubahan. Orang-orang Hoakiau yang berasal dari Indonesia mulai diberi kelonggaran untuk keluar dari RRC, ke mana saja mereka suka. Dari kira-kira 150.000 orang Tionghoa asal Indonesia yang sempat Huekuo ke RRC, lebih dari 80% kemudian keluar lagi dari negeri itu secara legal.

Izin itu bisa diberikan paling cepat tiga bulan.Tapi, bisa juga sampai bertahun-tahun. Encim Ma sendiri tak tahu, kapan suaminya mengajukan permintaan untuk meninggalkan RRC. Yang jelas, dia tahu bahwa suaminya memperoleh izin pada tahun1973. Mulai saat itulah mereka menetap di Hongkong sampai sekarang. Tahun 1978, setelah lima tahun di Hongkong, suami Encim Ma sakit lantas meninggal dunia.

Sampai sekarang, meskipun sudah tiga belas tahun menetap di koloni Inggris itu, Encim Ma cuma punya sebuah kartu yang disebut CI yakni Certificate of Identity.

Demikin juga, orang-orang seperti Encim Ma. Mereka sudah mengajukan izin unuk bisa menjadi warganegara Inggris, tapi sampai sekarang belum terpenuhi..

“Di sini, juga ada perbedaan,” kata Encim Ma. Yang kaya, meski baru datang, bisa saja sudah jadi warga Negara Inggris.

“Adakah perbedaan antara pemegang kartu CI dengan paspor Inggris?”“Oh, banyak,” kata Encim Ma. Yang punya paspor Inggris, dengan gampang bisa keluar negeri. Tapi, yang cuma memegang CI, sama sekali tidak bisa.”

“Masih punya sanak famili di Indonesia?” tanya saya. Encim Ma menatap wajah saya seraya menyuruh saya minum teh suguhannya yang sudah dari tadi dihidangkan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal hatinya. ”Waktu kami di RRC,” demikian ujarnya, ”Masih ada keluarga yang sering menyurati. Tapi, waktu itu surat menyurat tak segampang sekarang. Saya pun jarang sekali memberikan jawaban. Untuk membeli perangko, bagi kami sangat berat. Tapi sekarang, setelah saya tinggal di Hongkong, kami  tak pernah mendengar kabar. Mungkin mereka sudah pindah tempat,” katanya dengan penuh haru.

“Masih ingin ke Indonesia?” tanya saya. Encim Ma menggelengkan kepala. Lalu, berkata perlahan, “Tidak.”

“Mengapa?”

“Di sini sama saja. Sebenarnya, di mana saja kami hidup, sama saja…”

Dia juga punya pengalaman bagaimana akhir hidupnya di Probolinggo. Ia juga sudah mengalami sendiri kehidupan di RRC, yang dicurigai penduduk setempat. Juga di Hongkong ini, Encim melihat sendiri, betapa ia yang meminta kewarganegaraan Inggris tidak pernah diberi dan hanya diberi CI saja. Sekarang, ia sudah berpengalaman bahwa hidup ini harus menerima. Kita tidak boleh berontak. Perlakuan sebagai pendatang yang diterimanya, dia terima sebagai hal yang wajar.

Menceritakan pengalaman masa lalu, Encim Ma kemudian menyatakan bahwa itu semua adalah merupakan takdir. Penduduk lama boleh dengan gampang mendapat tempat tinggal di perumahan yang didirikan pemerintah. Sedang mereka yang berasal dari RRC, sudah boleh berterima kasih bahwa ada pihak swasta yang mau bergerak di bidang real estate, mesti otomatis harganya menjadi mahal.

Ketika saya tanyakan, bagaimana pendapatnya tentang bakal dikembalikannya Hongkong kepada RRC di tahun 1997, Encim Ma tampaknya tidak begitu bersemangat untuk menjawab. ”Saya sudah tua,” katanya. “Sepuluh tahun lagi mungkin saya sudah meninggal dunia, Jadi, buat apalah kami terlampau memikirkan hari esok yang masih panjang. Apalagi, kami tidak punya apa-apa,” tambahnya.

Apa yang diutarakan oleh Encim Ma ini memang menjadi jabawan rata-rata orang Hongkong yang tidak kaya, yang mencari hidup sebagai orang upahan. Mereka tampaknya pasrah saja. Tidak  ada perasaan takut jika negeri koloni ini nantinya dikembalikan kepada RRC, sebab mereka tadinya juga berasal dari sana. Jadi, apa bedanya.

Ia bahkan lebih senang berbincang tentang masa lampaunya di Indonesia daripada tentang masa depan Hongkong. Mungkin, semacam nostalgia, karena dia sendiri merasa orang Indonesia,.

Tapi, akhirnya Encim Ma secara tak sadar menyatakan bahwa keadaan di RRC sekarang dan dulu sangat berlainan. “ Mengapa Encim dulu ingin keluar dari RRC?” tanya saya.

Di luar dugaan Encim tersenyum.

“Itu dulu suami saya yang mengurus. Hidup d RRC, sebenarnya sudah bisa hidup.Cuma, hidup komune itu yang sebenarnya bertentangan dengan filsafat hidup orang Cina. Di komune, semuanya milik bersama. Padahal orang Cina suka menabung sen demi sen demi milik pribadi”.

“Di Hongkong ini, meski bekerja lebih keras darpada di RRC, kalo ada kelebihan uang kita bisa menyimpan. Akhir tahun, kalau ada tambahan tabungan kita bisa beli seterika listrik. Tampaknya, kita tak mungkin kuat bekerja seperti mereka yang di Hongkong, kerja dari pagi sampai larut malam. Memang ada waktu terluang untuk istirahat, tapi semuanya harus dikerjakan secara tertib. Tidak ada kerja dengan santai di sana. Semuanya berjalan dengan cepat…”

Tapi, sikap masa bodoh terhadap situasi politik itu hanyalah dimiliki oleh mereka yang kerja upahan. Mereka yang kaya dan punya pengaruh, tetapi memperhitungkan situasi politik yang sedang dan terutama akan berlaku.

Kedatangan Ratu Elizabeth ke Daratan Cina misalnya, menjadi pembicaraan yang menarik di Hongkong. Meskipun saya hadir sesudah setengah bulan lewat dari kunjungan istimewanya, terutama di lapisan menengah yang mempunyai modal serba tanggung. Yang punya modal besar, sudah bisa cepat menentukan sikap.

Dalam tulisan berikutnya, akan saya ceritakan bagaimana taipan-taipan Hongkong sangat jeli terhadap situasi ekonomi di berbagai negara di dunia. Di antaranya, juga terhadap Indonesia.

Taipan di Hongkong berlainan sama sekali dengan mafia dari Italia atau Amerika. Mafia seperti itu di Hongkong dulu namnya Triad. Tapi sekarang boleh dikatakan, rakyat Hongkong tidak suka lagi pada Triad yang bererak di bidang penyeludupan narkotik. Juga ada organisasi yang namanya Tong, yang dulu banyak menguasai kawasan Hongkong. Sekarang, semuanya tak ada lagi, kecuali taipan-taipan itu, yakni boss yang baik hati. Orang kaya di sana tapi yang tetap memikirkan sesamanya. Itulah yang di sana disebut taipan. Menarik memang untuk ditelusuri.