Kisah-kisah lanjutan dari Hongkong (7): Memenuhi keinginan terpendam duapuluh tahun yang silam.


JAWA POS, JUMAT WAGE 2 JANUARI 1987

Kisah-kisah Lanjutan dari Hongkong (7-Habis):
Memenuhi Keinginan Terpendam Duapuluh Tahun yang Silam.



Meskipun waktu mau berangkat ke Hongkong dibebani macam-macam tugas, saya sebenarnya mempunyai keinginan tersendiri menelusuri tempat-tempat Suzie Wong. Jika anda seusia dengan saya, di atas empat puluh tahun, pastilah masih ingat siapa Suzie Wong: seorang pelacur dalam film “The World of Suzie Wong”. Nancy Kwan yang memerankannya, sedangkan pemeran prianya adalah Willian Holde.

Waktu itu, Suzie Wong menjadi idola remaja seperti saya, sehingga tokoh itu seperti benar-benar hidup. Suzie Wong yang mengenakan Shanghai dress berwarna kuning belahan kaki yang terbuka, benar-benar tidak hanya menggairahkan, tetapi juga mengesankan.

Novel Richard Mason yang difilmkan dua puluh tahun lalu itu, memang jadi box office. Karenanya, sejak lama saya ingin mendatangi tempat-tempat seperti yang diceritakan Richard dalam novelnya. Pengarang itu mencatat secara terperinci nama hotel di mana Suzie Wong dan kawan-kawannya beroperasi.

Saya meyakini, jika Suzie Wong masih hidup, pastilah sekarang sudah nenek-nenek. Little Alice, misalnya yang oleh Richard dilukiskan sebagai WTS yang bertubuh montok dan suka cekikikan atau Minnie Ho yang seperti anak kucing liar atau Typhoo yang menggiurkan bak angin  Typhon yang suka membuat Hongkong tergoyang-goyang. Semuanya masih terasa hidup sampai kini.

Saat itu, kemasyuran Nancy Kwan yang memerankan Suzie hanya tersaingi oleh Jacqueline Kennedy, istri Presiden AS juga sama-sama cantiknya.

Karena itu, ketika taksi di Hongkong meminta 100 dolar Hongkong sejam untuk mengantarkan saya mencari Nam Kok Hotel, saya setuju saja. Ternyata, Nam Kok Hotel seperti yang diceritakan secara terperinci itu tak bisa saya jumpai. Apakah pengarang novel itu benar-benar cuma berkhayal?

Sopir taksi yang melihat saya gelisah, rupanya luluh juga hatinya. Ia berkata pada saya, mungkin saja hotel itu sudah dibongkar dan diganti flat. Ah, sopir ini betul juga. Mengapa saya tidak punya anggapan seperti itu.
Melihat ia bersimpati terhadap saya, saya minta dia mengantarkan saya di mana tempat WTS yang sering didatangi orang asing. Saya ajukan pertanyaan ini karena karena saya masih ingat betul, lakon yang diceritakan oleh Richard Mason adalah kisah cinta seorang wartawan Barat dengan seorang WTS di Hongkong.

Sopir itu mangut seraya tertawa. Mungkin ia beranggapan saya ingin iseng. Saya pun kemudian dibawa ke satu komplek. Apa nama komplek iitu saya tak tau dan sebaiknya saya tidak tahu agar tidak datang lagi kedua kalinya.

Tempat yang saya datangi itu ternyata sebuah barak pelacuran yang sangat tradisional. Terdapat dalam satu ruangan sebuah flat di tingkat tujuh. Yah, inikan Hongkong. Kompleks WTS pun flat. Benar-benar sudah tak ada tanah di sana. Karena di flat, sudah tentu sempit dan pengap.Kamar-kamar WTS itu berada di kanan dan kiri dan di tengahnya ada lorong jalan yang sempit.

Saking sempitnya, saya tidak bisa berjalan dengan tubuh menghadap kemuka. Saya harus jalan miring. Tapi, rupanya, justru di sinilah unsur komersialnya. Jika orang orang berjalan menghadap depan seperti biasa, maka dia harus tengok kanan kiri, jika ingin melihat WTS yang di parkir di kamar-kamar tersebut. Tapi, karena orang harus jalan miring, maka tanpa harus menegok orang sudah tahu dengan sendirinya kamar yang sedang tidak terpakai dan mana yang terbuka gordennya dengan seorang wanita berpakaian shanghai dress dengan belahan kaki yang tinggi. Mereka, biasanya menyapa dengan kata pendek. “Halo…!”. Tidak dengan, kalimat panjang-panjang. Misalnya: Mampir mas..ayo mas dan lain-lain seperti di sini.

Sopir yang mengantarkan saya masih di belakang ikut saya. Ia begitu baik mengantarkan saya. Ia mengatakan, banyak orang asing yang datang kesini, karena murah. “Only Twenty”, ujarnya. Saya segera mengajaknya pulang. Duapuluh dolar kalo dikalikan Rp 212,- (kurs Hongkong dolar saat itu) berarti Cuma empat ribu. Saya bergidik sendiri memikirkan macam WTS apa yang dijajakan di tempat itu.

Ada beberapa taksi yang menunggu di situ. Sopir itu masih berbaik hati menunjukkan buku Richard Mason kepada sopir-sopir yang lain. Ia menanyakan di mana Nam Kok Hotel seperti yang diceritakan dalam buku.
Ternyata berkat kesigapannya ia berhasil juga mengetahui di mana Nam Kok Hotel. Seperti dugaan semula, hotel itu sudah dibongkar pada 1970. Kini sudah berubah menjadi sebuah bar. Ada dua bar yang menarik di sana;  yakni Wanchai dan Tsim Sha Tsui Gawk Bar. Yang terakhir masih memanfaatkan nama Suzie Wong. Slogan mereka : New World of Suzie Wong.

Di situ juga masih terpampang sebuah poster film The World of Suzie Wong berwarna merah dengan tulisan hitam dan sebuah tarian yang benar-benar berakhir telanjang bulat yang dilakukan oleh penari-penari dari jepang.

Setelah semalam suntuk dalam keterbatasan waktu di Hongkong, akhirnya saya kembali ke penginapan. Karena di luar negeri, saya harus benar-benar irit. Malam ini saya catat  taksi 200 dolar. Hostes di bar serta mentraktir minumannya 100 dolar Hongkong (tak sampai 1 jam).

Bukan main yang saya hamburkan malam itu dan sekarang saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Tapi, betapapun saya gembira keinginan dua puluh tahun silam terobati. Saya terkecoh gara-gara sebuah novel yang difilmkan.