Kiriman dari Hong Kong (1): Bertemu Encim Ma di Hongkong


JAWA POS, SABTU LEGI 15 NOVEMBER 1986

Bertemu Encim Ma di Hongkong

Laporan: Basuki Soejatmiko, Wartawan Jawa Pos (1)

Sebelum meninggalkan Hongkong menuju daratan RRC, wartawan Jawa Pos, Basuki Soejatmiko, mengirimkan paket yang isinya ternyata laporan hasil penugasan yang diberikan padanya di Hongkong. Banyak sekali laporan itu, tapi hanya akan beberapa saja dulu yang diturunkan mulai hari ini.

Hongkong ternyata tidak begitu ramah. Bukan saja karena saya tak bisa berbahasa Cina dialek Canton, melainkan karena warga Hongkong sendiri sebenarnya sangat pencuriga terhadap orang yang belum mereka kenal. Apalagi kalau orang tersebut bermaksud untuk mengetahui masa lampau mereka, seperti saya ini.

Saya beruntung. Keterlambatan mengurus papspor di Surabaya, membuat saya punya waktu untuk melakukan hubungan dengan teman-teman yang sudah sering ke Hongkong. Salah seorang sahabat memberikan nama seorang wanita di Hongkong yang menurut pendapatnya mungkin bisa dihubungi. Lobi-lobi yang saya lakukan di Indonesia ternyata sangat berguna di Hongkong. Ada keterbukaan mereka untuk bertemu dengan saya. Dan yang lebih penting mereka mau bercerita, meskipun, sudah barang tentu tetap meminta saya agar tidak terlalu membuka rahasia. Rata-rata memang enggan disebutkan nama lengkapnya.

Rumah flat di Hong Kong
Begitu juga Encim Ma, begitu orang orang se-flat memanggilnya. Dia itu berusia sekitar enam puluh tahun, tapi masih sehat, dan tak begitu gemuk. Ini, katanya diperoleh karena ia latihan Tai Chi secara teratur. Tai Chi sekarang juga popular di Indonesia. Kegunaanya terutama dirasakan oleh mereka yang sudah berumur. Gerakannya tidak sekeras olahraga bela diri Cina pada umumnya, Tapi, keluwesannya tetap mampu mengalirkan darah secara teratur, sehingga segala penyakit menjauh. "Ini prinsip Tai Chi," kata Encim Ma dengan bahasa Indonesia yang masih kecampur bahasa Melayu sedikit-sedikit.

Encim Ma, menurut keterangannya, berasal dari Desa Maron yang tidak begitu jauh dari kota Probolinggo. Suaminya yang saat ini sudah meninggal, dulunya berdagang kecil-kecilan di Desa Maron. Tokonya menyediakan jarum dan keperluan rumah tangga lainnya.

Encim Ma tidak begitu ingat, berapa banyak orang Cina yang dulu tinggal di Desa Maron. Tapi dia masih ingat kebanyakan penduduk Maron bertani dan memburuh di Kota Probolinggo. Pulang pergi ke Probolinggo bisaanya mereka naik dokar. Tak ingat lagi berapa tarifnya saat itu.

Tapi, Encim Ma masih ingat, ia mempunyai langganan dokar milik Pak Mi. Nama itu begitu diingatnya karena sejak lama ia berlangganan dokar itu. Encim Ma juga masih ingat sebuah warung yang menjual rawon di depan pasar Probolinggo persis di muka Toko Maron (di Probolinggo memang ada Toko Maron di depan Depot Gwan Ling) Menurut Encim Ma nasi rawon di situ begitu enak. Sekarang kalo ia kangen masakan itu, sering membuatnya sendiri. “Tapi, tetap tak bisa sesedap yang di warung muka pasar itu,” ujarnya.

Ketika saya utarakan bahwa saya sendiri berasal dari Probolinggo dan ayah saya punya perusahaan di Desa Jati, Encim Ma memperlihatkan senyumnya. Senyum khas Encim Baba.

Ia lalu menanyakan identitas ayah saya. Ketika saya sebutkan nama ayah saya, ia tidak mengenalnya. Memang antara Desa Jati yang dekat ke arah Kraksaan dengan desa Maron tempat asalnya, tidak berdekatan.

Encim Ma juga masih ingat para tetangganya. Dia ingat Mbok Ti yang selalu berbelanja di tokonya secara kredit dan selalu membayar habis bulan. Anaknya Mbok Ti memang pegawai kabubaten di Probolinggo. Menurut Enci Ma, berdagang di Desa Maron waktu itu benar-benar menyenangkan. “Tak banyak saingan dan bisa monopoli.” Tapi, tak bisa ambil untung banyak mengingat daya beli masyarakat.

Membeli secara kredit adalah cara untuk memperpanjang hidup. Dalam hati saya bertanya. Apakah kehidupan zaman itu begitu parah? Mungkin inilah salah satu sebab mengapa waktu itu rakyat begitu radikal dalam menafsirkan PP 10 yang sebenarnya masih bisa berlaku sampai Desember 1959. Surat peraturan yang membuat Encim Ma meninggalkan Maron.

Encim Ma sendiri yang lahir bernama Poei Giok No. Ia sudah turun temurun berada di Indonesia. Kalau tidak salah, menurut ingatannya, kakeknya sudah lahir di Indonesia. Jadi, ia sudah keturunan yang ketiga. Bahwa mereka hidup di Desa Maron, itu adalah karena suaminya, She Ma juga berasal dari desa itu sejak turun temurun.Encim Ma sendiri berasal dari Desa Dringu, juga dekat Probolinggo, tapi lebih ke arah Timur.

Membuka toko klontong yang menjual segalanya di desa mempunyai keunikan sendiri, Toko Klontong zaman itu, kata Encim Ma, persis seperti toko supermarket sekarang. Menjual apa saja.

Toko klontong itu dibuka menurut keperluan rakyat setempat. Tengah malampun kalau rakyat membutuhkan, dilayani. Bagaimana situasi desa waktu itu Emcim Ma masih bisa mengingat kenangan yang saling bercampur jadi satu.

Ia mengatakan, sejak awal 1959 memang sudah ada desas desus bahwa nantinya tidak boleh lagi berdagang di sana. Semuanya akan diambil alih oleh pemerintah. Keperluan penduduk nantinya akan dilayani oleh koperasi. Apa yang disebut koperasi itu, mereka belum mengetahui.

Karena di Maron tak banyak keluarga Cina, Encim Ma dan suaminya bertanya ke Probolinggo.Tapi, dia mendapat jawaban bahwa hal itu tak mungkin terjadi, karena hubungan antara RRC dan Indonesia sangat baik. Tak mungkin ada pengusiran. Mendapat jabawan itu, keluarga Ma yang saat itu sudah dikaruniai dua oraang anak menjadi agak tentram. Mereka melakukan dagang seperti biasa. Hasil dagangan yang laku mereka belikan kembali kekurangan di desa. Beberapa bulan berlangsung dengan tenang. Sampai kemudian menurut Encim Ma, pada Maret dari Surabaya ada pengumuman yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno bahwa akhir 1959 orang Cina dilarang berdagang di kecamatan dan kewedangan. Agak aneh juga, pengumuman seperti itu dikumandangkan dari Surabaya.

Meski pengumuman itu masih menyediakan masa peralihan sampai akhir 1959, namun situasinya berkembang sedemikian cepatnya. Para pemuda kemudian melarang mereka membuka toko.

Reaksi kemudian muncul dari RRC, yang menawarkan pengangkutan secara cuma-cuma bagi mereka yang mau Huekuo untuk 600.000 orang yang hendak kembali ke tanah leluhur. Pernyataan RRC ini sudah barang tentu mendapat reaksi positif dari para Hoakiau yang ada di Indonesia. Tanpa pikir panjang mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri. Rombongan pertama yang diangkut oleh kapal RRC berjalan secara mulus. Tapi, kemudian terhenti sama sekali. RRC ternyata hanya mampu mengangkut 150.000 orang saja. Sisanya masih terlunta-lunta di beberapa kota pelabuhan penting Indonesia menunggu kapal yang tak kunjung tiba. RRC pun kemudian menyatakan bahwa mereka masih belum mantap dan mereka masih menata diri dengan penuh susah payah. Karenanya rakyat di sana juga merasa tidak adil jika pemerintah meistimewakan Hoakiau dari Indonesia. Mereka kemudian mengadakan permusuhan dengan kelompok yang baru datang.

Menurut cerita Encim Ma, situasinya benar-benar tidak bersahabat. Mereka melihat kedatangan kami seolah-olah musuh yang hendak merampas nasi mereka. Keadaan di RRC sungguh mengejutkan mereka yang pulang. Tadinya mereka yang pulang mengharapkan sesampai di RRC akan menemui negeri leluhur yang makmur. Tapi kenyataannya yang mereka jumpai ialah bahwa negeri itu baru sampai pada taraf mampu memberikan makan kepada rakyatnya agar tidak kelaparan.

Sejak 1960 itu Encim Ma tak pernah bergerak ke daerah lain selain berada di daerah Cuangsi. Semua kerja yang mereka kerjakan sama dengan pekerjaan yang dilakukan oleh petani. Mereka menanam secara kolektif, karena mereka ditempatkan dalam komune-komune yang menanam padi, jantung, dan singkong.

“Apakah hidup di komune berat?” tanya saya.“Tidak, kami tidak sampai kelaparan.Tetapi apa yang kami miliki di Indonesia dan nampak seperti barang mewah, kami tak mampu atau tak boleh memiliki,” ujarnya.