Menelusuri Jejak "Buaya Kapasan"

oleh: Basuki Soejatmiko

Cuma Legenda?

Bagi angkatan yang sekarang, sebutan "Buaya Kapasan" sudah tak punya banyak arti lagi. Tapi bagi mereka yang berusia limapuluh tahun, sebutan itu samar-samar masih diingat. Semacam legenda yang tak jelas urutan ceritanya. Bagi mereka itu yang tak tahu persis apa dan siapa yang disebut dengan "Buaya Kapasan" itu, seringkali masalah itu dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi jelek. Semacam "korak" sekarang. Tukang berkelahi, pemerkosa, pemeras, penodong dan lain sebagainya. Pokoknya, konotasi tentang apa yang disebut Buaya Kapasan itu jelek sekali.

Padahal benarkah demikian? Legenda itu tak pernah ada yang menulis. Juga sarjana barat belum ada yang melakukan penelitian. Padahal Aksi Boikot dari pedagang-pedagang Cina di Surabaya yang terkenal dalam sejarah (l930-an) itu sebagian besar terwujud karena ada dukungan dari kelompok ini. Juga nama-nama yang mereka sebut dengan penuh perasan hormat, seperti baba Lie Tung, Bian Biauw, King Siem bukanlah cuma sekedar deretan nama yang tak punya arti. Sebab nama-nama itu bukan cuma terkenal di kalangan masyarakat Cina pada tahun l900-l925, tetapi juga di kalangan Marsose (patroli Belanda) karena bentrokan yang mengharuskan mereka berhadapan dengaan polisi kolonial.

Ditilik dari sistem organisasinya, Buaya Kapasan itu jelas tak mempunyai bentuk. Ia cuma mencerminkan kekeluargaan yang ada di kalangan mereka. Muncul begitu saja tanpa kaderisasi. Kekuasaan yang muncul dalam stelsel kekeluargaan ini mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada stelsel kemasyarakatan yang dibentuk karena undang-undang Belanda. Misalnya saja tentang struktur kepemimpinan yang diangkat oleh pihak Belanda, kemudian diresmikan oleh Ratu Belanda sendiri dengan kepangkatan letnan, mayor dan lain sebagainya. Dalam hubungan dengan Belanda, kehadiran kelompok ini memang penting. Kepangkatan yang diberikan itu memang tujuannya untuk menjembatani masyarakat Cina dengan pemerintah kolonial.

Twako

Tapi dalam pergaulan sosial lainnya, mereka lebih terikat kepada siapa yang mereka anggap sebagai twako. Twako ini dalam realitanya merupakan seorang figur yang bisa dipanut. Yang siap membela mereka dari perlakuan tak adil dari pihak mana pun datangnya. Kemunculan Buaya Kapasan erat hubungannya dengan sistem twako ini. Meskipun demikian, tak bisa dibilang bahwa twako adalah Buaya Kapasan, karena yang disebut dengan twako tak pernah melakukan penyelesaian persoalan dengan kekerasan. Ia juga bukan seorang jagoan. Twako lebih merupakan figur yang memiliki intelegensia dan kebijaksanaan dalam masyarakat Cina. Seorang twako melebihi seorang mayor wibawanya. Seorang mayor mempunyai wibawa karena statusnya, karena kekayaannya dan karena hak monopoli yang dimiliki sehingga ia banyak mempunyai anak buah yang setia padanya. Twako membangun wibawanya atas dasar kebijaksanaan. Atas dasar pengetahuannya. Di dalam masyarakat Cina di Hindia Belanda, twako itu lahir dan tiba-tiba saja ada.
Munculnya Buaya Kapasan

Seringkali, karena twako tak pernah menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, ada sebagian orang yang tak puas. Buaya Kapasan muncul dari kalangan ini. Mereka ingin menegakkan "keadilan" menurut versi mereka dengan kata dan perbuatan. Karena itulah kelompok Buaya Kapasan kemudian lebih dikenal dari kelompok twako. Sayangnya, dalam setiap kelompok selalu ada orang yang cuma ingin ikut makan saja. Inipun terjadi pada kelompok Buaya Kapasan itu. Makin dijadikan panutan dalam masyarakat sebagai tokoh semacam Robin Hood, makin gencar orang mengaku dirinya sebagai anggota kelompok tersebut dengan melakukan perbuatan yang justru bertentangan dengan jiwa dari Buaya Kapasan itu sendiri. Sehingga pada akhirnya muncullah konotasi yang jelek tentang Buaya Kapasan seperti yang sekarang samar-samar diingat orang. Yang diingat justru konotasinya yang jelek itu. Di baliknya orang tak pernah tahu atau sudah tidak tahu lagi, siapakah yang disebut dengan Buaya Kapasan itu. Apakah ia sekedar satu legenda? Atau ada sesuatu yang menarik di baliknya ?

Triad
 

Bagi saya , menelusuri jejak Buaya Kapasan yang sekarang cuma tinggal sebagai satu legenda, di mana orang yang hidup semasanya sudah "habis" sama sekali, sangat menarik. Bukan saja karena menelusuri jejak itu berarti mencoba menyingkap sejarah lama, tetapi juga untuk mendudukkan persoalan Buaya Kapasan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab kalau kita telusuri dengan serius, ternyata sejarah mengenai apa yang disebut dengan Buaya Kapasan itu mengandung misteri tentang pergolakan orang-orang Cina perantauan yang disebut dengan Triad. Sebuah organisasi yang bermula berada di daratan Cina, tetapi kemudian berkembang pesat di luar negeri. Karena dengan keluarnya mereka dari daratan Cina, banyak sekali di antara mereka yang berhasil, menjadi kaya dan bisa membantu perkembangan di dalam negeri Cina.

Karena itulah Cina Perantauan diperhitungkan pada tempo doeloe. Di mana-mana kelompok Cina mendirikan organisasi Triad.

Hampir di seluruh dunia ada. Beda triad dengan twako adalah, twako tidak ikut dengan persoalan di luar daerahnya sendiri. Triad ikut campur permasalahan internasional dengan fokus negeri Cina, kepentingan negeri itu. Katakan saja, Triad itu semacam organisasi terima kasih dari warga negara di luar Cina kepada Cina.

Mula-mula Organisasi Keagamaan

Organisasi Triad ini pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang muncul dari kuil-kuil Budha. Mereka ini mula-mula memberikan pendidikan kungfu kepada penganut mudanya dan dari situ kemudian ditempa semangat nasionalisme untuk menghancurkan pemerintahan penjajah yang terdiri dari orang-orang Utara yang disebut bangsa Boan. Anggota Triad biasanya mahir kungfu dengan baik. Mereka mampu menghadapi lawan dengan tangan kosong, sebab pada saat itu memang ada larangan dari penguasa bangsa Boan untuk membawa senjata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu mereka berlatih kungfu tangan kosong.

Triad ini dalam perjalanan sejarahnya kemudian meluas sampai ke luar negeri. Di mana pun orang Cina berada, mereka selalu diingatkan bahwa mereka masih satu bangsa. Selalu ada keterikatan dengan negara asal mereka. Sebab asas kewarganegaraan yang dianut pemerintah Cina sesudah kemenangan Revolusi l9ll adalah asas sanguinis. Artinya pemerintah Cina menganggap orang Cina di belahan bumi yang mana saja tetap sebagai warganegaranya. Asal dalam tubuhnya mengalir darah Cina.

Banyak perselisihan terjadi, disebabkan karena negara lain tidak menganut asas yang sama. Negara lain banyak yang menganut asas ius soli. Artinya, di tanah (negara) mana ia dilahirkan, di situ hak mereka sebagai warga negara. Dengan Indonesia masalaah kewarganegaran ini baru terselesaikan tahun l960-an. Sebelumnya orang-orang Cina di Indonesia dianggap mempunyai kewarganegaraan ganda. Satu pihak dari Cina dan di pihak lainnya Indonesia.

Dr.Sun Yat Sen sendiri, yang berhasil dengan revolusinya di tahun l9ll juga mendapat dukungan dari Triad di luar negeri. Dukungan diperoleh dokter Sun dari Triad di Inggris, Singapura, dan Jepang. Dukungan itu bukan saja berupa moril tetapi juga keuangan yang jumlahnya sangat besar. Karena itu pula selama dokter Sun berkuasa, kekuasaan Triad makin mendapat angin. Manajemen organisasinya juga makin sempurna. Hubungan antara Triad yang satu dengan Triad lainnya menjadi lebih luwes.

Juga ketika Cina berperang melawan Jepang, Triad pulalah yang banyak memberikan bantuan, terutama Triad dari luar negeri.

Dari Indonesia bantuan diberikan melalui majalah Sin Po. Karena mustahil bantuan itu bisa diberikan oleh Triad di dalam negeri, yang keadaannya sedang dalam cengkeraman Jepang. Bahwa daerah Kapasan mempunyai hubungan yang erat dengan Triad atau Triad sudah mempunyai cabang di Kapasan, itu tampak jelas ketika Cina di serbu Jepang secara semena-mena. Terutama ketika Jepang menyerbu kota Shanghai dan melintasi jembatan yang terkenal sebagai jembatan Marco Polo di sana. Serentak pedagang-pedagang Cina di Surabaya mengadakan gerakan boikot di Surabaya. Gerakan yang membuat kaget pemerintah Hindia Belanda ini terjadimulai awal tahun l930-an dan memuncak tahun l937 dengan nyata-nyata memperlihatkan keterlibatan Buaya Kapasan dengan gerakan yang saat itu disebut-sebut sebagai gerakan heroik.

Mengadakan Boikot

Jangan dilupakan, Jepang sebelum masuk Hindia Belanda tahun l942, sudah menyusup lama dengan berkedok pedagang. Saat itu, demikian kata orang yang masih ingat, Jepang menjual semua barang yang diperlukan masyarakat. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar, mulai dari jarum sampai alat pertanian. Harga barang Jepang juga sangat murah. Meskipun kata orang kualitas barang Jepang saat itu sangat rendah. Cepat rusak. Lebih-lebih mainan anak-anak. Bentuknya memang bagus. Harganya murah. Tapi kalau sudah dibeli, dibuat mainan maka cepat sekali rusaknya. Beda sekali dengan barang Eropa atau Amerika. Yang mengherankan ialah pihak Belanda juga tertarik dengan sistem perdagangan Jepang di Hindia Belanda. Perusahaan Belanda yang besar banyak sekali yang bertindak sebagai agen. Mereka yang semestinya bertindak sebagai agen dari barang barang Eropa, kemudian mengageni barang-barang Jepang dengan komisi yang jauh lebih bagus. Situasi semacam ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam soal bisnis adalah bisnis. Sehingga sebenarnya, perusahaan-perusahaan besar Belanda yang mengageni barang Jepang tidaklah salah. Cuma kalau ditilik dari segi nasionalisme saja agak mengherankan. Sebab tujuan utama mereka seharusnya adalah menyelamatkan hasil industri Eropa dan Belanda sendiri, yang di pasaran Eropa sendiri sudah jenuh. Juga adanya negeri-negeri jajahan mestinya juga untuk mencari lapangan pemasaran yang baru bagi industri Eropa yang berkembang pesat setelah Revolusi Industri.

Tapi ketika Jepang menyerbu Manchuria dan menyerbu beberapa kota di Cina, pedagang-pedagang Cina di Hindia Belanda, termasuk di Surabaya menyatakan ketidaksenangan mereka dengan tidak berdagang barang-barang produksi Jepang lagi. Juga perusahaan besar Belanda yang berdagang barang Jepang tidak mereka terima lagi. Padahal, ada keterikatan antara pengusaha Belanda dengan pedagang Cina. Pedagang Cina sebenarnya tetap harus mengambil barang-barang dari perusahaan besar Belanda yang saat itu disebut sebagai : The Big Five, lima perusahaan besar. Penolakan mereka untuk mengambil jatah dari perusahaan Belanda ini juga membuat pihak Belanda kaget.

Tapi Jepang juga tidak tinggal diam. Komisi diberikan dengan lebih besar lagi. Menurut perhitungan, Jepang akan rugi jika barangnya dijual dengan murah. Nyatanya mereka tetap dapat hidup. Barang-barang Jepang terus masuk. Lucunya, mereka kemudian mampu membujuk pedagang Cina, sebagian, untuk tetap mengambil barang produksi Jepang. Jepang ternyata mampu menjalankan politik pecah belah di kalangan pedagang Cina.Bahkan sementara pengamat masalah Cina di Hindia Belanda berpendapat, Jepang lebih berhasil memecah belah kesatuan dan persatuan di kalangan masyarakat Cina ketimbang Belanda sendiri. Sebab pendidikan Belanda cumalah secara sosial. Jepang langsung menghunjam ke ulu hati masyarakat Cina, yakni dengan dagang. Untuk yang satu ini, kawan bisa jadi lawan. Saudara bisa jadi lawan.

Peranan Serikat Dagang Cina

Timbul reaksi juga dari kalangan pedagang Cina yang fanatik, yang tergabung dalam Tionghoa-Siangwee, sebuah perkumpulan dagang yang muncul dari kalangan yang mendapat pendidikan Tionghoa-Hweekoan. Kekuatan dagang kalangan Cina juga karena kekuatan organisasi dagang mereka yang terhimpun dalam Tionghoa-Sianghwee. Sifat gotong royong mereka, yang sekarang dapat disamakan dengan sistem koperasi gotong royong, ada pada budaya orang Cina. Kuatnya organisasi dagang itu karena di organisasi bukan hanya menjadi tempat berkumpul para pedagang yang lemah saja, melainkan pedagang yang kuat ikut serta duduk dalam organisasi tersebut. Dalam organisasi dagang, para pedagang Cina tidak hanya berbicara masalah perdagangan di antara mereka sendiri, melainkan juga situasi perdagangan nasional dan internasional secara cermat. Puncak kejayaan organisasai dagang Cina ini ialah, ketika mereka mampu memberikan dukungan kepada Oei Tiong Ham untuk memasarkan produksi gulanya sampai berhasil merebut pasaran di luar negeri dengan sukses. Kesuksesan itu membuktikan adanya kerja sama yang erat anatara sesama Triad yang ada. Organisasai itu juga membicarakan secara serius jika ada anggota yang jatuh dan mereka akan saling membantu. Sistem yang mereka pakai ialah sistem arisan. Istilah yang dipakai adalah "tong".

Arisan Tong

Arisan Tong adalah satu sistem yang mula-mula bertujuan untuk menolong mereka yang sama-sama datang dari satu daerah di Cina. Misalnya orang Kanton sama-sama memperhatikan orang Kanton yang ada di Hindia Belanda. Kalau ada yang jatuh miskin, maka mereka menolong. Mereka membuat semacam arisan tanpa bunga. Tujuannya cuma untuk menolong. Orang bilang, inilah arisan mati. Artinya uang tidak bertambah. Masyarakat Cina tidak sembarangan dengan arisan Tong ini. Jika mereka tidak benar-benar jatuh dalam usaha bisnisnya dan meninggalkan banyak hutang, mereka takkan mau ditolong dengan cara arisan Tong.

Dalam arisan dagang pada umumnya, yang ikut arisan bisa untung. Sebab siapa yang menarik bagiannya terlebih dulu, biasanya bersedia mengorbankan sejumlah uang merugi. Istilah lasimnya ialah "arisan piauw". Pada arisan tong tak ada pengorbanan itu. Bahkan ada arisan tong yang pembayarannya boleh dilunasi apabila yang bersangkuan sudah bangkit. Sifatnya benar-benar menolong.

Yang perlu dicatat disini ialah sikap budaya orang Cina yang yang baik . Mereka yang ditolong oleh banyak orang itu, jika sudah untung, mereka itu tanpa ditagih akan membayar sendiri. Mungkin juga dengan lebih banyak dari jumlah yang mereka pinjam semula. Mereka juga akan lebih banyak beramal, sebab ada keyakinan bahwa keuntungan yang mereka terima itu adalah satu rahmat dari Tuhan, karenanya mereka juga harus membagi keuntungan itu kepada orang lain yang memerlukan. Dengan demikian sistem kekeluargaan makin erat. Mari kita lihat sekarang, bagaimana sikap Tionghoa-Siangwee terhadap anggotanya yang nakal, yang bersedia bekerja sama dengan pihak Jepang dalam segi bisnis. Dalam sistuasi mengamankan program dari Siangwee inilah kelompok Buaya Kapasan ikut berperan serta. Bahkan kalau dalam organisasi yang sekarang, mereka didudukkan dalam bidang penertiban. Satu tugas yang tidak enteng, karena lawan-lawan yang mereka hadapi juga punya anak buah yang bisa kungfu sehingga tidak jarang harus terjadi perkelahian di antara mereka.

Cara-Cara Mereka Bekerja

Salah satu cara yang dilakukan dalam menindak pedagang Cina yang mau bekerja sama dengan Jepang adalah menyingkirkan mereka yang bersedia memperdagangkan barang Jepang dalam pergaulan sosial. Kalau ada anggota keluarga mereka yang mati, tak ada lagi orang yang mau datang ikut berbela sungkawa. Tradisi semacam ini sudah merupakan satu hukuman yang cukup berat. Sebab tidak dianggap dalam masyarakat Cina merupakan satu masalah yang besar. Takkan ada yang membantu jika mereka sedang dilanda kesulitan.

Tapi ternyata, kelompok yang mau bekerja sama dengan pedagang Jepang ini cukup tangguh. Mereka tak gentar dengan segala ancaman. Dan pihak yang fanatik, akhirnya memutuskan untuk mengadakan gerakan balasan. Mereka kemudian menteror pedagang yang mau kerja sama. Rumah-rumah mereka setiap malam juga diteror. Malam hari selalu ada batu-batu yang cukup besar melayang di atas genteng, menimbulkan bunyi ramai. Tapi setelah dilihat, tak tahu siapa yang berbuat nakal itu. Juga seringkali ada kotoran manusia yang dilemparkan di muka pintu , sehingga penghuninya kalau bangun pagi, membuka pintu akan mendapatkan bau yang sangat tidak sedap. Dengan cara-cara intimidasi semacam itu itu, meskipun membutuhkan waktu cukup lama, akhirnya barang Jepang lumpuh total. Juga Belanda tidak berani lagi mengageni barang Jepang. Karena bagi mereka tidak mengguntungkan jika harus menghadapi pedagang Cina sebagai musuh. Sebab nanti kalau barang-barang Eropa sudah normal kembali pengirimannya, setelah reda kena malaise, pengusaha-pengusaha Belanda itu juga membutuhkan poedagang Cina yang mempunyai jaringaan sangat luas.

Di mana Posisi Buaya Kapasan?

Lantas di mana posisi dari Buaya Kapasan itu? Apakah ia cuma sekedar seperti apa yang diketahui secara samar-samar? Sebagai korak, perampok, pemeras, tukang main dan peminum? Ternyata peran Buaya Kapasan dalam hal boikot ini sangat besar. Merekalah yang melaksanakan intrik-intrik. Merekalah yang menjaga agar kalau terjadi musibah dalam keluarga pedagang Cina yang bekerja sama dengan Jepang, tak ada yang datang. Mereka menjaga di ujung kampung. Kalau ada yang nekad untuk terus mau berbela sungkawa, maka mereka akan dipukul, dikeroyok dan lain sebagainya. Juga jika ada rombongan yang menangis, mereka akan membubarkannya. Dalam tradisi Cina selalu ada "orang luar" yang ikut menangis menyatakan ikut berbela sungkawa atas kematian almarhum. Makin kaya seseorang, makin mampu mereka menyewa orang untuk menangis meskipun bukan sanak keluarga. Juga yang melemparkan batu dan kotoran manusia adalah kelompok Buaya Kapasan.

Sudah barang tentu, salah tafsir bisa saja terjadi. Dengan cara-cara yang dilakukan, bisa saja membuat kelompok Buaya Kapasan mendapat kritik. Karena seringkali mereka menjalankan tugasnya dengan keterlaluan. Tapi kalau kita singkap masalahnya yang sebenarnya, apa yang mereka lakukan, yang seringkali dilakukan dengan tangan besi, adalah demi kepentingan yang mereka anggap luhur. Sebab kebencian mereka terhadap Jepang sudah sampai pada puncaknya. Terutama karena harian seperti Sin Po memberitakan secara terinci perlakuan yang dilakukan oleh serdadu Jepang terhadap rakyat Cina di kota-kota yang berhasil diduduki. Bagaimana Jepang merampok harta benda rakyat jelata, dan memperkosa gadis-gadis Cina. Dalam mengumpulkan dana untuk kepentingan negeri Cina inilah peran Buaya Kapasan tak bisa dipungkiri. Merekalah yang meminta masyarakat Cina di sekitar mereka untuk membantu usaha-usaha pengumpulan dana yang dilakukan oleh organisasi kemasyrakatan (a.l. Gie Hoo) dengan mengadakan bazaar dan lain usaha yang sah.

Peran Buaya Kapasan itu amat besar, terutama karena usaha mengadakan bazaar dan pengumpulan dana sebenarnya tidak disuka oleh pihak Belanda. Tapi kalau terlihat banyak orang yang disinyalir sebagai kelompok Buaya Kapasan, pihak Marsose (patroli Belanda) sengaja menutup mata. Sehingga setiap ada usaha pengumpulan dana, Buaya Kapasan selalu berjaga siang dan malam menghadang setiap kemungkinan. Sebab tidak jarang, jika ada bazaar, selalu ada saja jagoan dari tempat lain yang kemudian mabuk-mabukan sehingga membikin onar atau bahkan sengaja datang mencari gara-gara untuk mencoba kekuatan kelompok yang disebut Buaya Kapasan. Dalam mengamankan situasi yang serba kompleks itulah peran Buaya Kapasan tak bisa dianggap enteng.

Mengapa Kapasan

Slompretan dan Kembang Jepun dengan mudah bisa dianalisa, mengapa menjadi tempat pemukiman kelompok Cina di Surabaya. Kedua tempat itu , karena letaknya yang dekat sungai yang merupakan jalur hubungan dengan pelabuhan, memang masuk akal untuk menjadi tempat tinggal orang Cina. Bahkan Slompretan misalnya, mempunyai sejarah tersendiri sebagai daerah pemukiman orang-orang Cina. Bagaimana dengan Kapasan? Mengapa sampai perlu membuka satu daerah pemukiman yang baru? Kita lihat sekarang bagaimana Slompretan dan Kembang Jepun tumbuh sebagai satu daerah pemukiman yang lebih dari Kapasan sebagai bahan pembanding.
Awalnya, Slompretan menjadi tempat tinggal sementara pelaut-pelaut yang baru datang dari daratan Cina dan ingin meneruskan perjalanan ke tempat yang lain. Ada satu tempat yang khusus disediakan buat mereka. Yakni klenteng di jalan Coklat sekarang. Mula-mula cuma sebuah rumah yang berbentuk bangsal yang luas. Lama kelamaan dirasakan perlu ada tempat ibadat. Dari situlah klenteng itu didirikan. Tentunya dilakukan oleh orang yang kaya, bukan oleh pelaut-pelaut tadi. Di Slompretan ini pelaut-pelaut membawa sutra dari Cina. Lambat laun, daerah tersebut menjadi pusat perdagangan tekstil. Kemudian juga menjadi pusat perdagangan batik.

Kembang Jepun demikian juga. Di jalan Kembang Jepun itu kemudian mereka berdagang. Ada beda dengan Slompretan. Sebab kalau di Slompretan kebanyakan usaha dilakukan dengan sistem kekeluargaan dan modal pribadi, maka di Kembang Jepun sudah dilakukan perdagangan yang moderen. Mereka menyebutnya kongsie. Dengan sistem kongsie ini modal bisa dihimpun dengan lebih besar lagi, karena merupakan gabungan modal dari beberapa orang. Hubungan dagang antara Kembang Jepun dengan Kapasan lebih dekat. Sebab Kembang Jepun yang sebelah timur dan Kapasan sebelah barat hanya dipisahkan oleh sebuah kali saja. Tapi Kapasan? Mengapa orang Cina justru memilih Kapasan sebagai daerah tempat tinggal? Mengapa mereka tidak memilih tempat pemukiman yang sudah ada? Bukankah kalau mereka memilih Slompretan atau Kembang Jepun, dan mereka tak perlu bersusah payah lagi untuk membuka daerah baru, mereka sudah punya tetangga dan kehidupan sudah berjalan dengan wajar di kedua tempat itu?

Jika dibandingkan dengan daerah Kapasan, jauh sekali lebih enak di Kembang Jepun atau Slompretan. Lebih-lebih kalau diingat bahwa sebelum abad keduapuluh kawasan Kapasan masih dikenal sebagai hutan randu yang sangat rimbun.

Nama Kapasan sendiri berasal dari nama randu ini. Menurut laporan, nama itu sudah ada dalam catatan Belanda sekitar abad ke delapan belas. Mengenai hutan randu ini masih banyak orang tua yang ingat dan itu diceritakan turun-temurun kepada anak cucu mereka. Dalam bahasa Melayu-Tionghoa randu berarti kapas. Saat itu, karena rimbunnya, daerah itu menjadi daerah menghilangnya maling, rampok dan lain sebagainya. Penjahat yang sudah masuk hutan randu tak mungkin bisa dicari lagi. Sebab yang mencari bisa-bisa lenyap begitu saja, seolah tertelan oleh hutan randu.

Boleh dikata, di dalam hutan randu itu berkumpul macam-macam kelompok yang semuanya dari kalangan "hitam". Patroli Belanda juga tak berdaya menghadapi keangkeran hutan randu tersebut. Selalu ada korban dari kalangan patroli Belanda kalau mereka berani memasuki hutan randu itu. Demikian angkernya, sehingga akhirnya patroli Belanda hanya berani mengadakan patroli sampai di ujung jalan Kembang Jepun bagian timur saja. Mereka tak berani melintasi sungai. Sungai ke Timur dianggap daerah tak bertuan. Dari sinilah timbul banyak salah pengertian. Tidak amannya tempat tersebut diceritakan karena ada buaya kapasan. Jelas masalah ini tidak benar. Sayangnya kesalah- pengertian itu tidak pernah didudukkan pada proporsi yang sebenarnya. Padahal, kerusuhan yang terjadi, justru karena pihak Belanda tidak mau mengambil tindakan yang tegas.

Situasi yang terakhir inilah yang justru menarik bagi kalangan Cina yang baru datang dari daratan Cina. Menurut data sejarah yang berhasil ditelusuri, orang-orang Cina memang untuk pertama kali didatangkan oleh Belanda untuk mengisi sebuah kota yang baru didirikan Belanda yakni Batavia. Mereka tidak datang secara sukarela. Paksaan telah dilakukan. Juga dengan berbagai cara. Sebab kedatangan orang Cina ke Batavia itu juga ada yang atas dasar jual beli. Artinya, karena kemiskinan di daratan Cina, orang sering menjual dirinya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di rantau. Uangnya mereka berikan kepada istri yang ditinggalkan. Mereka merantau seorang diri. Soal jual beli orang Cina ini jarang diketahui umum sekarang.

Dalam dokumen-dokumen Belanda mengenai Hindia Belanda, masalah itu seringkali disebut. Dokumen-dokumen Belanda sering menyebutkan bahwa orang Cina yang datang ke Hindia Belanda kebanyakan bukan lagi manusia bebas, tetapi manusia yang sudah dibeli oleh calo-calo yang sengaja dikirim Belanda untuk mendatangkan mereka ke Hindia Belanda.

Karena miskinnya bukan hanya wanita Cina saja yang dijual oleh orang tuanya. Tapi juga laki-laki yang sudah tak berdaya lagi hidup di negeri sendiri di bawah penjajahan bangsa Boan. Mereka ingin sekali mencari rejeki di luar negeri. Yang disebut laki-laki di sini bukan bocah kecil, tapi laki-laki dewasa yang seringkali sudah beristri.

Kebanyakan mereka yang datang berasal dari daerah Cina Selatan, Kanton, sehingga otomatis mereka memang terkenal dengan jiwa dagang dan progresif. Kanton yang terletak pada bagian Cina Selatan memang merupakan pintu gerbang pertama untuk memasuki daerah Cina lewat Hongkong. Di sana bertemu macam-macam budaya. Juga di sana tempat bertemunya pedagang pedagang Barat yang ingin memasuki daratan Cina.

Biasanya orang-orang Cina dari Kanton sudah mengenal perdagangan cara Barat. Biasanya mereka bertindak sebagai pedagang perantara. Merekalah yang mengantar pedagang barat memasuki negeri yang pada masa itu sudah terkenal karena porselin dan mesiu itu. Jadi, kepandaian sebagai pedagang perantara itu bukan hanya mereka miliki kemudian, melainkan sudah mereka miliki sebelum datang ke Hindia Belanda. Situasi yang sedemikian ini sangat cocok dengan kepentingan Belanda di Hindia Belanda, menjadikan orang-orang Cina itu sebagai pedagang perantara. Menjadi penyalur barang-barang produksi perusahaan Belanda kepada masyarakat pribumi.
Tapi pada pertengahan abad ke delapan belas di Batavia jumlah mereka sedemikian membengkaknya, di luar perkiraan Belanda sendiri. Semula mereka diharapkan bisa membantu Belanda. Tetapi jumlah yang membengkak itu bagi Belanda merupakan satu dilema yang baru. Orang Cina kemudian sulit sekali diatur. Karena yang mengatur dan yang hendak diatur lebih banyak yang kedua, apalagi pihak pemerintah Hindia Belanda tidak bisa menjamin bahwa aparaturnya semuanya jujur. Meskipun berbagai larangan diadakan, orang Cina masih gampang bergerak.

Pembantaian Tahun 1740

Pada tahun l740 terjadi satu insiden pembunuhan terhadap orang Cina secara besar-besaran di Batavia, karena orang Cina dituduh ikut gerakan tentara Jawa Tengah melawan Belanda. Sejak saat itu orang Cina mulai menyebar ke luar kota Batavia. Mereka mencoba mencari kehidupan yang lebih bebas di luar kota Batavia. Pembantaian orang orang Cina itu merupakan satu tragedi. Kekalahan itu menurut orang Cina, karena mereka tak tahu, kalau kerajaan di Jawa Tengah sudah berdamai dengan pihak Belanda. Karena tak memperoleh bantuan seperti yang direncanakan, Belanda dengan gampang membasmi mereka.

Jawa Timur tidak masuk dalam agenda mereka. Sebab orang Cina mempunyai trauma terhadap Jawa Timur. Pada abad ke tigabelas, orang-orang Cina yang datang langsung dari negeri Cina memang dibantai oleh Raden Wijaya. Mereka diusir dari daratan Jawa Timur dan kembali ke negeri Cina. Sejak saat itu, daerah itu menjadi tabu bagi orang Cina.

Tapi kemudian tersiar kabar, bahwa daerah-daerah di luar Batavia menjadi makin menarik untuk dijadikan daerah pemukiman karena jauh dari pengawasan Belanda. Juga daerah Jawa Timur dianggap lebih menarik ketimbang Batavia. Waktu itu di Batavia sudah ada macam-macam peraturan yang memagari gerak-gerik orang Cina. Kemana-mana orang Cina harus mempunyai pas jalan.

Juga waktu datang di satu kota, mereka tak boleh berdiam di sembarang tempat. Mereka hanya boleh tinggal dalam satu daerah yang dikhususkan untuk orang Cina. Dengan demikian pemerintah Belanda gampang menilik mereka. Padahal tugas orang Cina itu adalah sebagai pedagang perantara. Mereka harus melakukan perjalanan untuk menjajakan dagangan mereka. Jika untuk datang di satu kota mea perantauan. Di mana-mana pemerintah daerah mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintahan di Batavia terhadap orang Cina.

Daerah itu sendiri sebenarnya menunjukkan bahwa Belanda tetap menganak-tirikan orang Cina dari kelompok yang disebut Timur Asing. Belanda tetap mengharuskan orang Cina di Hindia Belanda memakai kuncir sebagai tanda bahwa orang Cina adalah bangsa jajahan. Baru pada tahun l9ll kuncir itu dipotong dengan kemenangan Sun Yat sen menggulingka perantauan.Di mana-mana pemerintah daerah mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintahan di Batavia terhadap orang Cina.

Daerah itu sendiri sebenarnya menunjukkan bahwa Belanda tetap menganak-tirikan orang Cina dari kelompok yang disebut Timur Asing. Belanda tetap mengharuskan orang Cina di Hindia Belanda memakai kuncir sebagai tanda bahwa orang Cina adalah bangsa jajahan. Baru pada tahun l9ll kuncir itu dipotong dengan kemenangan Sun Yat sen menggulingkan ratu terakhir dari bangsa penjajah Cina.

Jawa Timur pada akhirnya menarik mereka yang datang pertama kali dari daratan Cina atau yang lari dari Batavia, karena daerah itu dianggap jauh dari jangkauan Belanda. Karena itu, meskipun ada trauma tentang pengusiran orang Cina di daerah Jawa Timur pada abad ketigabelas, mereka tetap tertarik pada Jawa Timur.

Lebih-lebih setelah pemberontakan Tai-ping di Cina pada tahun l850-an gagal melawan dominasi kulit putih dan kekuasaan bangsa Boan yang menjajah mereka, perantau-perantau Cina yang datang ke Hindia Belanda lebih senang memilih daerah Jawa Timur, biarpun trauma mengenai pengusiran orang Cina oleh Raden Wijaya itu ada juga pada diri mereka.

Juga orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan Tai-ping banyak yang langsung datang ke Surabaya. Sejarah masa lampau sudah mereka lupakan. Kini Surabaya menjadi tujuan utama mereka untuk memulai hidup yang baru. Mereka yang datang tanpa modal, bahkan sebagai orang buruan, kini memulai kehidupan dengan harapan baru.

Trauma itu sendiri menurut para pengamat sejarahsebenarnya tak perlu ada. Perantau Cina yang datang ke Hindia Belanda kebanyakan orang Han. Sedangkan tentara yang dikirim ke Hindia Belanda oleh Kubilai Khan ialah tentara Boan yang menjajah negeri Cina pada waktu itu. Karena itu, pengusiran oleh Raden Wijaya seharusnya membuat senang orang Cina (Han). Karena itu, sebenarnya tak perlu ada trauma.

Situasi hutan randu (Kapasan) yang penuh dengan misteri itulah yang cocok buat mereka, karena situasi yang semacam itu mengingatkan mereka pada negeri Cina, tempat mereka sendiri diburu karena terlibat dalam pemberontakan yang gagal itu. Dari sinilah sejarahnya, mengapa menjelang abad keduapuluh orang Cina banyak yang bertempat tinggal di daerah Jawa Timur. Mereka kemudian menghimpun kekuatan tersendiri dan saling memanggil sanak atau kenalan yang masih tertinggal di daratan Cina.

Lain dengan daerah Semarang, Surabaya mempunyai ciri khas dalam menghimpun kekuatan. Mereka ini selalu diliputi perasaan curiga. Meskipun trauma tentang sikap Raden Wijaya sudah mereka buang jauh-jauh, mereka tetap punya rasa curiga. Dengan demikian selalu ada jarak. Apalagi pihak Belanda kemudian mengelompokan mereka dalam satu daerah tersendiri, yakni Pecinan.

Meskipun sikap menjaga jarak itu ada segi negatifnya, harus diakui bahwa karena sikap yang sedemikian itulah masyarakat Cina di Surabaya bisa menempatkan diri sebagai kelompok yang nomor satu. Mereka siap menghadapi segala serangan dari luar. Juga ketika mereka yang ada di Slompretan menghadapi serangan kelompok lain gara-gara persoalan batik, pedagang batik di Slompretan mendapat dukungan dari kelompok Kapasan.

Berdirinya Bun Bio

Dipilihnya daerah Kapasan sebagai daerah pemukiman baru, setelah pemukiman Cina di kawasan Kembang Jepun dan Slompretan, ternyata bukan sembarang pilih. Kalau dilihat dari peta yang sekarang ada, ternyata pemilihan tersebut sudah diperhitungkan dengan seksama. Kehadiran Kali Pegirian ternyata menunjang pemilihan tempat yang saat itu masih berupa hutan randu yang sangat lebat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa daerah Kapasan iu adalah daerah pantai. Data ini mungkin saja bisa diterima, kalau kita mengingat bahwa daratan kita makin lama memang menjorok ke lautan bersamaan dengan terbawanya lumpur sungai, maka mungkin saja Kapasan dulu pantai dan merupakan ujung dari kali Pegirian sebelah utara. Tapi kalau dilihat bahwa dulunya di Kapasan banyak pohon randu, maka data itu mestinya tak bisa dibenarkan. Yang pantai tetap Tanjung Perak dan Kenjeran. Sehingga Kapasan kemudian terletak pada satu situasi yang menguntungkan sebab angin laut tidak bertiup terlalu kencang di daerah itu. Itu pula yang menyebabkan kali Pegirian sangat ideal untuk dilayari dan dijadikan sarana transportasi perdagangan.

Juga sungai tersebut menentukan struktur sosial penghuninya nanti. Sebab Kapasan yang sebelah Timur akan merupakan kelompok elit yang kaya. Kalau kita lihat warisan yang sekarang ada, akan nampak jelas bahwa rumah-rumah yang besar kebanyakan berada di sebelah timur.Rumah Mayor The yang kemudian dihuni oleh Liem Koe Nio juga berada di daerah Timur, dekat dengan perempatan Kapasari.

Pada bagian Barat yang dekat dengan pinggiran Kali Pegirian, pusat perdagangan orang Cina Kapasan jaman dulu, keadaannya ramai. Orang Cina menyukai ketenangan dalam hidup pribadinya. Karenanya, suasana di daerah Barat yang ramai tidak cocok untuk dibuat perumahan. Untuk menunjang pendapat ini, kiranya dapat dikemukakan data, bahwa hotel-hotel semuanya berada di daerah Barat. Hotel yang terkenal jaman dulu misalnya, Tionghoa Lie Koan, sekarang sudah bukan hotel lagi, letaknya agak menyerong sedikit di muka Kapasan Travel, berada di ujung jalan Kapasan sebelah Barat. Pendatang yang baru tiba tak perlu jauh-jauh mencari tempat penginapan. Cukup di dekat kapal berlabuh saja. Orang lebih senang dengan keadaan yang dekat dengan tempat kerja mereka. Bukan saja karena perjalanan yang agak jauh pada waktu itu membahayakan, juga dengan dekatnya tempat kerja, berarti mereka bisa langsung mengawasi pekerjaan yang harus mereka kerjakan.

Demikian juga Bun Bio, semacam klenteng untuk pemujaan terhadap Konghucu yang didirikan pada tahun l883 berada di sebelah barat jalan Kapasan yang sekarang. Rumah sembahyang ini didirikan atas prakarsa dari Twako Go Tik Lie dan Lo Toen Siong. Keduanya mengajukan permohonan tanah kepada mayor The Boen Kie. Mayor Cina jaman dulu terkenal sebagai orang yang kaya. Mereka tak mungkin dianugerahi pangkat jika tidak kaya.

Yang diangkat oleh pihak Belanda, pastilah jadi tambah kaya. Karena seiring dengan pemberian pangkat itu mereka juga mempunyai hak monopoli untuk menjual salah satu komoditi yang penting. Misalnya saja, garam, candu atau beberapa jenis hasil bumi yang ditentukan Belanda. Di jaman dulu ukuran kekayaan diukur dengan jumlah tanah dan rumah yang dimiliki. Juga mayor The Boen Kie memiliki sejumlah tanah dan rumah. Karena banyaknya tanah dan rumah milik Mayor The Boen Kie itulah, kedua twako tersebut setelah bermufakat mengajukan permintaan tanah seluas 500 meter persegi.

Setelah memperoleh tanah, mulailah dana lain dikumpulkan untuk membangun dengan gaya klasik Cina. Bun Bio ini merupakan satu-satunya rumah ibadat untuk menghormat Konghucu, semula tidak berada di pinggir jalan seperti sekarang. Ia berada jauh di belakangnya. Maksudnya juga agar tidak terlalu mencolok, karena Bun Bio juga dipergunakan oleh para pedagang perantau sebagai penginapan, terutama oleh kalangan yang miskin seperti kuli kapal. Yang mempunyai uang akan memilih tempat menginap di Tionghoa Lie Koan.
Tentang Bun Bio ini ada baiknya diceritakan agak panjang lebar. Bun Bio atau klenteng pada umumnya bagi orang Cina bukan sekedar sebagai tempat di mana orang Cina menjalankan ibadat keagamaannya saja, tetapi juga menjadi tempat orang Cina berdana. Misalnya dengan Bun Bio di Kapasan itu, tanahnya merupakan hadiah dari mayor The yang juga bertempat tinggal di Kapasan dan mempunyai banyak tanah dan rumah. Demikian juga ketika orang Cina di Kapasan berhasil mengumpulkan sejumlah uang, kemudian mereka membeli rumah-rumah yang berada di muka Bun Bio. Rumah itu kemudian dirobohkan dan Bun Bio kemudian diperluas sehingga situasinya bisa berada di tepi jalan besar, yaitu pada tahun l904.

Yang mereka harapkan adalah membuat Bun Bio yang mirip dengan apa yang ada di tanah leluhur. Karena itu semua bahan diimpor dari Cina. Mereka ingin membuat sebuah tempat pemujaan yang bisa memberikan inspirasi bagi anak cucu mereka di kemudian hari.
Pendidikan pun dimulai di Bun Bio itu. Ternyata kemudian, tahapan kemajuan yang dicapai masyarakat Cina di Hindia Belanda dalam bentuknya yang kecil dapat dilihat di Kapasan. Ketika memasuki abad keduapuluh, hanya Kapasan yang siap. Waktu itu di Batavia sudah didirikan lembaga pendidikan untuk orang Cina yakni Tionghoa-Hweekoan, semacam pendidikan formal yang didasarkan pada ajaran Konghucu. Kapasan menyatakan siap, terutama karena Bun Bio sendiri sudah tak sanggup lagi menampung murid-murid. Mulailah didirikan gedung sekolah Tionghoa-hweekoan yang pertama di Surabaya. Tempatnya persis di belakang Bun Bio. Sekarang tanah bekas Tionghoa Hweekoan itu ditempati lembaga pendidikan Kristen Petra.

Berdirinya sebuah Bun Bio sebenarnya merupakan masalah yang kaya untuk dikaji. Karena bentuk Bun Bio seperti yang sekarang ada di jalan Kapasan Surabaya sebenarnya tak banyak ada. Sebelum perang, adanya bun Bio merupakan hal yang langka. Tak banyak rumah ibadat didirikan untuk sembahyang umat Konghucu. Bukan cuma di Hindia Belanda, melainkan juga di Asia Tenggara tak ada. Mengapa bisa demikian? Sebab tradisi di kalangan orang Cina ialah mendirikan sebuah klenteng yang umum, tempat memuja tokoh-tokoh yang dahulunya juga disembah di Cina. Biasanya dalam satu klenteng disembah banyak dewa. Karena itu agama klenteng disebut dengan nama Sam Kauw, tiga ajaran.

Apa yang terjadi di Kapasan dengan Bun Bionya itu sekali lagi mengingatkan kita kepada kenyataan bahwa berbeda dengan mereka yang mendiami tempat pemukiman lainnya, yang tinggal di Kapasan mempunyai tujuan terarah. Hubungan dengan negara asal sangat akrab lewat sistem Triad yang sudah terkenal itu. Buaya Kapasan yang muncul dari kelompok masyarakat Kapasan, tentunya juga tak bisa dilepaskan dari sistem yang terarah itu tadi. Meskipun harus diakui juga, bahwa tidak semua kelompok Buaya Kapasan berasal dari daerah Kapasan sendiri. Seringkali mereka itu berasal dari daerah Gresik, Tuban atau daerah lainnya. Mungkin karena mereka mendapat pekerjaan di daerah Kapasan mereka lantas mencari tempat tinggal di sana. Sore harinya ikut berlatih kungfu dan menjadi anggota perserikatan sosial semacam Gie Hoo dan lain-lainnya.

Perubahan yang Cepat

Dipilihnya sebuah hutan randu yang lebat, tadinya diharapkan bisa menghindarkan mereka dari teropongan Belanda. Tapi ternyata harapan itu sia-sia. Sebab kamajuan yang telah mereka capai, ternyata di luar dugaan mereka. Adanya Buaya Kapasan membuat perdagangan menjadi tertib dan mereka yang berdagang di sana menjadi kaya. Dibaginya jalan Kapasan menjadi dua bagian, yang luar bagian yang kaya dan yang dalam bagi mereka yang terbilang buruh, menjadikan daerah Kapasan ideal sebagai tempat pemukiman elit orang Cina tempo doeloe.

Pengaruh Kali Pegirian

Kemakmuran dari masyarakat Kapasan jelas tak bisa dilepaskan dari Kali Pegirian yang merupakan tempat transportasi paling penting saat itu. Semuanya dikirimkan lewat Kali Pegirian. Garam yang menjadi monopoli orang Cina yang mempunyai pangkat letnan, mayor dan lain-lainnya, melakukan kegiatannya lewat Kali Pegirian. Demikian juga dengan candu. Semuanya lewat Kali Pegirian. Nama Pegirian sendiri baru dikenal pada tahun l900. Tapi kali itu sendiri sebagai sarana transportasi sudah dikenal pada jaman VOC, dengan nama Kali Asem.

Akhirnya perusahaan harus pandai-pandai menjadikan dirinya sebagai komunikator yang baik dan tidak ragu-ragu dengan segala ide kreatif yang dimiliki, maka perusahaan akan percaya bahwa kepandaian adalah modal yang dimiliki setiap orang/perusahaan termasuk juga Tuan Bossini.

Seperti perumpamaan yang mengatakan: "Bila anda pandai, Tuhan memberi kaki untuk berdiri dan anda mempunyai kesempatan yang lebih baik menjadi cerdas ketimbang otak yang tumpul"

* * *

(Tulisan ini dibuat sekitar tahun 1985-1986)